Tuesday, December 4, 2012

Menjawab Misteri Langkanya Candi di Tatar Sunda

Salah satu misteri dalam sejarah Jawa Barat selama ini adalah kelangkaan bangunan-bangunan candi peninggalan kerajaan-kerajaan masa lampau. Walau ditemukan beberapa, tapi sangat sedikit dan tak sebanding dengan yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Padahal, di Jawa Barat terdapat kerajaan-kerajaan besar Sunda pra-Islam: Tarumanegara kemudian Pajajaran yang pusatnya terdapat di tiga kota: Pakuan, Galuh, dan Sumedang. Jawaban yang sudah mengemuka selama ini ada dua: Pertama, alasan sosiologis-agrikultural yaitu mata pencaharian utama penduduk Sunda yang ngahuma (berladang) kemudian bersawah. Ciri masyarakat ladang adalah tradisi nomaden yaitu selalu berpindah tempat untuk mencari lahan yang subur. Kebiasaan ini berpengaruh pada tempat tinggal orang Sunda yang tidak memerlukan bangunan permanen yang kokoh seperti candi. Kedua, alasan Islamisasi. Islamisasi di Sunda cenderung lebih intensif dibanding dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Proses Islamisasi yang lebih intensif berpengaruh pada militansi beragama orang Sunda. Karena keislamannya yang kuat, masyarakat Sunda yang sudah masuk Islam diduga “menghancurkan” bangunan candi-candi sebagai peninggalan agama Hindu Budha dan tempat pemujaan yang bertentangan dengan keyakinan yang diajarkan Islam. Hingga saat ini kedua asumsi tersebut belum didukung oleh bukti-bukti sejarah. Tulisan pendek ini akan menjawab pertanyaan di atas melalui tiga argumen: monoteisme orang Sunda, tradisi egalitarian masyarakat dan tradisi kekuasaan Sunda pra-Islam.

Monoteisme Orang Sunda Lama
Dari berita sejarah yang ada dan dari hasil penelitian arkeologi terkini, kawasan Sunda adalah daerah yang pertama mengalami apa yang disebut Goerge Coédes sebagai “Indianized states.” Kerajaan Hindu tertua itu berada di Sunda yaitu Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-4 M yang masa puncak kejayaannya terjadi pada masa Raja Purnawarman (394 – 434). Aktifitas politik pemerintahan dengan rangkaian kegiatan birokratisnya telah berjalan sejak awal-awal abad masehi. Hal ini menunjukan bahwa orang-orang Sunda adalah masyarakat pertama di Nusantara yang telah mengerti dan menggunakan mekanisme birokrasi dalam mengatur hubungan penguasa-rakyat dan hubungan sosial antara masyarakatnya.

Pengaruh Hindu dan Budha yang datang dari India setelah mengalami proses sinkretisasi dengan agama lokal (animisme dan dinamisme) mulai diterima oleh kalangan elit politik kerajaan. Stratifikasi sosial yang kastaistis telah memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri bagi para aristokrat kerajaan, sementara masyarakat lapisan luar kerajaan masih menggunakan keyakinan lama yang menyembah hyang yang oleh Fa-Hien disebut sebagai “agama yang buruk” seperti tertuang dalam laporan berita Cina. Ungkapan “agama yang buruk” oleh Fa-Hien ini merupakan ungkapan yang biasa diucapkan oleh orang yang taat pada suatu agama terhadap orang yang beragama lain.

Dalam konsepsi teologis orang Sunda pra Hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat lainnya. Hyang mengusai seluruh roh-roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. Pada masa masuknya pengaruh Hindu, konsep ke-esa-an hyang terpelihara karena semua dewa Hindu tunduk dan takluk pada hyang ini, kekuatannya dianggap melebihi dewa-dewa Hindu yang datang kemudian. Dengan kata lain, orang-orang Sunda pra Hindu-Budha sudah menganut faham monoteistis dimana hyang dihayati sebagai maha pencipta dan penguasa tunggal di alam raya. Konsepsi ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu Allah, ketika muncul proses Islamisasi di Nusantara. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus menyembah Hyang (Yang Tunggal) sama dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa dalam agama Islam.

Ketika pengaruh Hindu masuk ke masyarakat Sunda lama, ajaran Hindu mempengaruhi keyakinan lokal masyarakat yang sudah mapan. Kedua keyakinan teologis ini kemudian mengalami proses sinkretisasi. Ini tergambar dalam hirarki kepatuhan yang terdapat pada Naskah Siksakandang Karesian yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan) yang isinya sebagai berikut : “Anak satia babakti ka bapa; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka mantri; mantri satia babakti kanu manganan (komandan); nu manganan satia babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja satia babakti ka dewata; dewata satia babakti ka hyang.” Konsep hyang adalah yang tertinggi dan paling berkuasa. Sistem keyakinan ini sudah hidup pada orang Sunda jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu dan Budha pada awal masehi.

Tradisi sesembahan orang Sunda pra Hindu-Budha tidak terpusat di candi tapi menyembah hyang di kahiyangan. Konsep kahiyangan sangat abstrak alias tidak mengacu pada tempat fisik dan bangunan. Kahiyangan merupakan tempat para dewa bersemayam (ibarat ‘Arsy-nya Allah dalam Islam) mulai dari para dewa lokapala (pelindung dunia) sampai pwah sanghyang sri (dewi padi), pwah naga nagini (dewi bumi) dan pwah soma adi (dewi bulan) yang menghuni jungjunan bwana (puncak dunia). Tradisi orang Sunda menyembah hyang adalah salah satu alasan yang menjelaskan kelangkaan candi di Tatar Sunda Priangan. Kuatnya kepercayaan Sunda lama terhadap hyang yang monoteistik tidak mendorong orang Sunda untuk membangun candi sebagai pusat peribadatan sebagai mana di Jawa Tengah dan Timur. Satu dua candi kecil yang ditemukan di Jawa Barat, ketimbang menunjukkan kuatnya pengaruh agama Hindu-Budha, tampaknya dibangun lebih sebagai simbol kekuasaan bahwa disitu pernah ada penguasa kecil, keturunan dari Kerajaan Sunda. Agama Sunda Wiwitan di Kanekes Banten yang mengenal adanya Allah dan Nabi Adam tapi tidak mengenal syari’at Islam memperkuat adanya persambungan konsep monoteisme orang Sunda lama yang terpengaruh Islam.

Tradisi Egaliter Orang Sunda
Pengaruh ajaran Hindu-Budha yang masuk ke pulau Jawa nampaknya kurang begitu kuat meresap pada masyarakat Sunda karena masyarakat Sunda sudah terikat kuat dalam menganut keyakinan aslinya yang bercorak monoteistis yaitu mengabdi pada hyang tungga seperti dijelaskan di atas. Bukti kuat pernyataan ini adalah bahwa hingga saat ini bukti-bukti arkeologis yang mendukung kuatnya pengaruh Hindu-Budha sangat sedikit ditemukan di Jawa Barat. Sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur, banyaknya peninggalan bangunan dan monumen sakral yang bercorak Hindu dan Budha merupakan bukti sosialisasi Hindu dan Budha yang sangat intensif, baik yang dilakukan oleh kalangan keraton maupun rakyatnya.

Kuatnya penyebaran agama Hindu-Budha di masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur diantaranya disebabkan konsep god-kings (dewa-raja) yang sesuai dengan tradisi berfikir masyarakat Jawa ketika itu. Bagi masyarakat Jawa, raja dihayati sebagai panutan mutlak karena dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Gelar para raja adalah gabungan dari dua otoritas yaitu otoritas politik (raja) dan otoritas religius (dewa) yang tergabung dalam istilah-itilah seperti rajaresi, khalifatullah fil ‘ardhi sayidin panatagama dan lain-lain. Di sisi lain, kepatuhan mutlak kepada raja juga merupakan ajaran Hindu seperti terlihat dari sistem kasta dan klasifikasi sosial yang sangat ketat. Ini dibuktikan oleh perbedaan status sosial yang feodalistik dalam stratifikasi masyarakat Jawa antara kelas ningrat atau priyayi dan wong cilik. Penghayatan raja sebagai titisan dewa dan adanya kelas sosial yang tajam ini berakibat pada tiadanya perbedaan pendapat antara raja dengan rakyatnya, termasuk dalam persoalan agama. Keraton dalam kebudayaan Jawa adalah pemegang otoritas kebenaran yang berfungsi sentral baik dalam agama, politik dan kebudayaan.

Pada masyarakat Sunda, pola seperti ini tidak ditemukan. Corak budaya yang berkembang adalah kebudayaan rakyat dimana posisi keraton tidak terlalu menentukan pembentukan stratifikasi kelas dan variasi budaya. Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Sunda didominasi oleh kebudayaan agraris dengan berbagai keunikannya. Bila kebudayaan Jawa adalah kebudayaan feodal yang hirarkis, kebudayaan Sunda adalah kebudayaan rakyat yang egaliter yang mencerminkan kesamaan derajat antar manusia. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang demokratis. Ngaing, sia, déwék, dia, kula dsb adalah bahasa komunikasi egaliter sehari-hari antara kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat Sunda lama (buhun). Dan, seperti diketahui, Sunda mengenal feodalisme setelah masuknya pengaruh Mataram selama tiga abad yang diantara peninggalannya sekarang adalah undak-usuk basa Sunda nu ngalieurkan tersebut.

Bukti lain yang mempertegas adalah seni pewayangan. Pada masyarakat Jawa, lakon cerita wayang merupakan sumber ilham dalam memahami fungsi-fungsi sosial mereka dalam hidup berbangsa dan berbudaya. Epos Mahabarata dan Ramayana menjadi sumber pendidikan etika yang menghasilkan perilaku-perilaku yang kastaistis seperti kemunculan kelas ningrat dan wong cilik. Pada masyarakat Sunda, seni pewayangan lebih merupakan media hiburan pelepas lelah dalam aktifitas agrarisnya sehari-hari. Orang Sunda tidak menjadikan lakon cerita wayang sebagai sabda suci yang mesti diteladani. Mereka telah memiliki etika agraris yang sangat kuat yang tidak bisa digantikan oleh etika Hindu-Budha seperti yang ditunjukkan dalam pewayangan Jawa yang sangat rumit dengan nilai-nilai filosofisnya. Sifat rumit, abstrak dan filosofis pewayangan Jawa sudah banyak diungkap oleh banyak peneliti seperti Donald K. Emmerson, Ben Anderson, Karl D. Jackson, Clifford Geertz, Soemarsaid Moertono, Selo Seomarjan, Fachry Ali dll. Egalitarianisme masyarakat agraris dan kepercayaan monoteistik orang Sunda yang sudah lama berakar kuat justru menjadi bekal penerimaan orang Sunda terhadap ajaran agama baru yang sesuai dengan kultur, tradisi dan kepercayaan mereka yaitu Islam. Ketika Islam datang ke tatar Sunda dan mulai berinteraksi dengan masyarakatnya, spontan mendapat sambutan yang sangat luar biasa, terutama dari kalangan rakyat biasa. Tidak heran, bila Islamisasi yang dirintis oleh Sunan Gunung Djati, Maulana Hasanuddin, Syekh Abdul Muhyi dan oleh para ulama penerusnya sangat mudah dan berakar yang kemudian menjadikan masyarakat Sunda sebagai masarakat Islam.

Tradisi nomaden masyarakat Sunda lama yang berpindah-pindah, monoteisme kepercayaannya, egalitarianisme budaya, tradisi komunikasi yang demokratis dan pengaruh Islam yang luas setelahnya, adalah penyebab-penyebab kuat tidak ditemukannya banyak Candi di tatar Sunda sebagai simbol feodalisme, hegemoni kerajaan dan nilai-nilai Hindu. Egalitarianisme nilai-nilai masyarakat dan demokratisnya pola komunikasi antara penguasa dengan rakyat berpengaruh pada cara raja dan rakyatnya memandang kekuasaan dan cara memandang dirinya masing-masing. Raja tidak merasa perlu memisahkan dirinya dalam sebuah bangunan Candi yang kokoh dan eksklusif yang jauh dari rakyatnya. Sebagaimana keraton berfungsi sebagai simbol pemisahan yang jelas antara kompleks kekuasaan raja dengan rakyatnya, candi juga dibangun sebagai simbol penegasan yang jelas antara raja dan rakyatnya dan lebih merupakan sarana eksklusif para raja melakukan ritus sesembahan dan pemujaan. Di tatar Sunda yang egaliter dan kedekatannya dengan alam sebagai masyarakat agraris menyebabkan fokus sesembahan dan penghormatan lebih langsung kepada alam dan ke sanghyang ketimbang kepada para raja.

Hanya Satu Kerajaan
Di Nusantara, fungsi candi bukan hanya sebagai tempat beribadah para raja semata, tetapi juga sebagai monumen sebuah dinasti yang berkuasa. Pertarungan politik dan adu gengsi kekuasaan antar kerajaan telah menghasilkan candi-candi megah di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Wangsa Syailendra dengan Candi Borobudurnya dan Wangsa Sanjaya dengan Candi Prambanannya. Pergantian kekuasaan kerajaan, baik melalui suksesi formal maupun melalui perebutan kekuasaan selalu diiringi dengan pembangunan candi megah sebagai monumen kekuasaannya. Ketika kita menyaksikan banyaknya candi-candi besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka kita dapat menduga selain sebagai simbol majunya sebuah kerajaan, betapa banyaknya pula konflik dan persaingan politik yang terjadi di Jawa pada zaman itu.

Fungsi candi sebagai monumen kekuasaan raja seperti ini juga tidak ditemukan di tatar Sunda karena kerajaan yang berkuasa di tatar Sunda hanya satu yaitu Kerajaan Sunda. Hanya pusat pemerintahannya saja yang berpindah-pindah sejak dari Galuh (Ciamis), pindah ke Pakuan Padjadjaran (Bogor), pindah lagi ke Kawali (Ciamis) dan kemudian pindah ke Pakuan lagi (Sartono Kartodirdjo, 1977). Dengan kata lain, kekuasaan raja di Sunda tersentralisir dan kemungkinan keratonnya pun hanya satu. Tetapi –paling tidak hingga saat ini— keratonnya pun belum ditemukan berada di kota mana dari tempat yang berpindah-pindah itu. Candi yang sudah ditemukan pun, seperti candi Cangkuang di Garut, candi di Batujaya Karawang dan di Bojongmenje Rancaekek, Bandung, selain tafsirnya belum bisa dipastikan alias kontroversial, juga belum merepresentasikan sebagai bekas peninggalan kekuasaan kerajaan Sunda. Dengan demikian, kekuasaan tunggal yaitu kerajaan Sunda adalah alasan kuat yang mendukung alasan-alasan lain yang sudah dikemukakan tentang tidak banyaknya candi di Tatar Priangan.

Dari uraian di atas, kelangkaan candi di sebuah kawasan tidak selalu merefleksikan tingkat peradaban. Candi hanyalah salah satu bangunan monumental yang dibangun oleh sebuah dinasti kerajaan untuk kebutuhan prestise sesembahan keluarga raja, selain sebagai simbol kekuasaan. Kerajaan Sunda adalah kerajaan kuat yang terbukti ketika kerajaan Madjapahit dan Mataram berada dipuncak kekuasaannya, berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, kerajaan Sunda tidak menjadi taklukannya. Dengan demikian, pendirian candi dalam sebuah wilayah kekuasaan lebih berhubungan langsung dengan pola kekuasaan, konsep teologis dan tradisi politik yang berkembang. Tampaknya, sesuai dengan kecenderungan kuat konsep teologisnya yang monoteistik, tradisi pola komunikasi yang demokratis antara penguasa dan rakyatnya serta kekuasaan Sunda yang terpusat dan tunggal, kelangkaan candi di Tatar Sunda memang sebuah kemestian sejarah. Inilah kekhasan lokal masyarakat Sunda. Dengan demikian, masyarakat Sunda perlu membuang semacam “ratapan historis” yang tidak perlu karena langkanya candi di Jawa Barat. Sekali lagi, bangunan candi tidak mengindikasikan tinggi-rendahnya peradaban. Sistem sosial dan kebudayaan Sunda lebih berorientasi pada nilai-nilai, relijiusitas dan hal-hal lain yang bersifat abstrak yang itu justru menunjukkan ketinggian peradabannya. Karenanya, penerimaan Islam pun lebih mudah prosesnya.

Candi kebanggaan masyarakat Sunda sekarang adalah “candi Islam” yaitu puluhan ribu masjid yang hampir ada di setiap RT di seluruh Jawa Barat. Begitu mengagungkannya, banyak daerah masyarakat Sunda yang lingkungan rumah penduduknya sederhana tapi masjidnya megah dan mewah. Sayangnya, candi-candi itu adalah singkatan dari “candi eusian” karena masih kosong oleh shalat rutin berjama’ah. Mungkin, karena terlalu banyaknya sehingga pengisiannya terpencar-pencar. Wallahu a’lam!!

Sumber : http://moefarticles.wordpress.com/2011/01/08/argumen-langkanya-bangunan-candi-di-tatar-sunda/