Salah satu misteri dalam sejarah Jawa Barat selama ini adalah
kelangkaan bangunan-bangunan candi peninggalan kerajaan-kerajaan masa
lampau. Walau ditemukan beberapa, tapi sangat sedikit dan tak sebanding
dengan yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Padahal, di Jawa Barat
terdapat kerajaan-kerajaan besar Sunda pra-Islam: Tarumanegara kemudian
Pajajaran yang pusatnya terdapat di tiga kota: Pakuan, Galuh, dan
Sumedang. Jawaban yang sudah mengemuka selama ini ada dua: Pertama, alasan sosiologis-agrikultural yaitu mata pencaharian utama penduduk Sunda yang ngahuma (berladang)
kemudian bersawah. Ciri masyarakat ladang adalah tradisi nomaden yaitu
selalu berpindah tempat untuk mencari lahan yang subur. Kebiasaan ini
berpengaruh pada tempat tinggal orang Sunda yang tidak memerlukan
bangunan permanen yang kokoh seperti candi. Kedua, alasan
Islamisasi. Islamisasi di Sunda cenderung lebih intensif dibanding
dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Proses Islamisasi yang lebih
intensif berpengaruh pada militansi beragama orang Sunda. Karena
keislamannya yang kuat, masyarakat Sunda yang sudah masuk Islam diduga
“menghancurkan” bangunan candi-candi sebagai peninggalan agama Hindu
Budha dan tempat pemujaan yang bertentangan dengan keyakinan yang
diajarkan Islam. Hingga saat ini kedua asumsi tersebut belum didukung
oleh bukti-bukti sejarah. Tulisan pendek ini akan menjawab pertanyaan di
atas melalui tiga argumen: monoteisme orang Sunda, tradisi egalitarian
masyarakat dan tradisi kekuasaan Sunda pra-Islam.
Monoteisme Orang Sunda Lama
Dari berita sejarah yang ada dan dari hasil penelitian arkeologi
terkini, kawasan Sunda adalah daerah yang pertama mengalami apa yang
disebut Goerge Coédes sebagai “Indianized states.” Kerajaan
Hindu tertua itu berada di Sunda yaitu Kerajaan Tarumanagara pada abad
ke-4 M yang masa puncak kejayaannya terjadi pada masa Raja Purnawarman
(394 – 434). Aktifitas politik pemerintahan dengan rangkaian kegiatan
birokratisnya telah berjalan sejak awal-awal abad masehi. Hal ini
menunjukan bahwa orang-orang Sunda adalah masyarakat pertama di
Nusantara yang telah mengerti dan menggunakan mekanisme birokrasi dalam
mengatur hubungan penguasa-rakyat dan hubungan sosial antara
masyarakatnya.
Pengaruh Hindu dan Budha yang datang dari India setelah mengalami
proses sinkretisasi dengan agama lokal (animisme dan dinamisme) mulai
diterima oleh kalangan elit politik kerajaan. Stratifikasi sosial yang
kastaistis telah memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri bagi para
aristokrat kerajaan, sementara masyarakat lapisan luar kerajaan masih
menggunakan keyakinan lama yang menyembah hyang yang oleh
Fa-Hien disebut sebagai “agama yang buruk” seperti tertuang dalam
laporan berita Cina. Ungkapan “agama yang buruk” oleh Fa-Hien ini
merupakan ungkapan yang biasa diucapkan oleh orang yang taat pada suatu
agama terhadap orang yang beragama lain.
Dalam konsepsi teologis orang Sunda pra Hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal)
yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan
jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di
hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat lainnya. Hyang mengusai seluruh roh-roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. Pada masa masuknya pengaruh Hindu, konsep ke-esa-an hyang terpelihara karena semua dewa Hindu tunduk dan takluk pada hyang
ini, kekuatannya dianggap melebihi dewa-dewa Hindu yang datang
kemudian. Dengan kata lain, orang-orang Sunda pra Hindu-Budha sudah
menganut faham monoteistis dimana hyang dihayati sebagai maha
pencipta dan penguasa tunggal di alam raya. Konsepsi ini sesuai dengan
apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu Allah, ketika muncul proses
Islamisasi di Nusantara. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus
menyembah Hyang (Yang Tunggal) sama dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa dalam agama Islam.
Ketika pengaruh Hindu masuk ke masyarakat Sunda lama, ajaran Hindu
mempengaruhi keyakinan lokal masyarakat yang sudah mapan. Kedua
keyakinan teologis ini kemudian mengalami proses sinkretisasi. Ini
tergambar dalam hirarki kepatuhan yang terdapat pada Naskah Siksakandang Karesian yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan) yang isinya sebagai berikut : “Anak
satia babakti ka bapa; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia
babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka
mantri; mantri satia babakti kanu manganan (komandan); nu manganan satia
babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja satia
babakti ka dewata; dewata satia babakti ka hyang.” Konsep hyang
adalah yang tertinggi dan paling berkuasa. Sistem keyakinan ini sudah
hidup pada orang Sunda jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu dan Budha
pada awal masehi.
Tradisi sesembahan orang Sunda pra Hindu-Budha tidak terpusat di candi tapi menyembah hyang di kahiyangan. Konsep kahiyangan sangat abstrak alias tidak mengacu pada tempat fisik dan bangunan. Kahiyangan merupakan tempat para dewa bersemayam (ibarat ‘Arsy-nya Allah dalam Islam) mulai dari para dewa lokapala (pelindung dunia) sampai pwah sanghyang sri (dewi padi), pwah naga nagini (dewi bumi) dan pwah soma adi (dewi bulan) yang menghuni jungjunan bwana (puncak dunia). Tradisi orang Sunda menyembah hyang adalah salah satu alasan yang menjelaskan kelangkaan candi di Tatar Sunda Priangan. Kuatnya kepercayaan Sunda lama terhadap hyang
yang monoteistik tidak mendorong orang Sunda untuk membangun candi
sebagai pusat peribadatan sebagai mana di Jawa Tengah dan Timur. Satu
dua candi kecil yang ditemukan di Jawa Barat, ketimbang menunjukkan
kuatnya pengaruh agama Hindu-Budha, tampaknya dibangun lebih sebagai
simbol kekuasaan bahwa disitu pernah ada penguasa kecil, keturunan dari
Kerajaan Sunda. Agama Sunda Wiwitan di Kanekes Banten yang mengenal
adanya Allah dan Nabi Adam tapi tidak mengenal syari’at Islam memperkuat
adanya persambungan konsep monoteisme orang Sunda lama yang terpengaruh
Islam.
Tradisi Egaliter Orang Sunda
Pengaruh ajaran Hindu-Budha yang masuk ke pulau Jawa nampaknya kurang
begitu kuat meresap pada masyarakat Sunda karena masyarakat Sunda sudah
terikat kuat dalam menganut keyakinan aslinya yang bercorak monoteistis
yaitu mengabdi pada hyang tungga seperti dijelaskan di atas.
Bukti kuat pernyataan ini adalah bahwa hingga saat ini bukti-bukti
arkeologis yang mendukung kuatnya pengaruh Hindu-Budha sangat sedikit
ditemukan di Jawa Barat. Sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
banyaknya peninggalan bangunan dan monumen sakral yang bercorak Hindu
dan Budha merupakan bukti sosialisasi Hindu dan Budha yang sangat
intensif, baik yang dilakukan oleh kalangan keraton maupun rakyatnya.
Kuatnya penyebaran agama Hindu-Budha di masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur diantaranya disebabkan konsep god-kings
(dewa-raja) yang sesuai dengan tradisi berfikir masyarakat Jawa ketika
itu. Bagi masyarakat Jawa, raja dihayati sebagai panutan mutlak karena
dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Gelar para raja adalah gabungan
dari dua otoritas yaitu otoritas politik (raja) dan otoritas religius (dewa) yang tergabung dalam istilah-itilah seperti rajaresi, khalifatullah fil ‘ardhi sayidin panatagama
dan lain-lain. Di sisi lain, kepatuhan mutlak kepada raja juga
merupakan ajaran Hindu seperti terlihat dari sistem kasta dan
klasifikasi sosial yang sangat ketat. Ini dibuktikan oleh perbedaan
status sosial yang feodalistik dalam stratifikasi masyarakat Jawa antara
kelas ningrat atau priyayi dan wong cilik.
Penghayatan raja sebagai titisan dewa dan adanya kelas sosial yang tajam
ini berakibat pada tiadanya perbedaan pendapat antara raja dengan
rakyatnya, termasuk dalam persoalan agama. Keraton dalam kebudayaan Jawa
adalah pemegang otoritas kebenaran yang berfungsi sentral baik dalam
agama, politik dan kebudayaan.
Pada masyarakat Sunda, pola seperti ini tidak ditemukan. Corak budaya
yang berkembang adalah kebudayaan rakyat dimana posisi keraton tidak
terlalu menentukan pembentukan stratifikasi kelas dan variasi budaya.
Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Sunda didominasi oleh
kebudayaan agraris dengan berbagai keunikannya. Bila kebudayaan Jawa
adalah kebudayaan feodal yang hirarkis, kebudayaan Sunda adalah
kebudayaan rakyat yang egaliter yang mencerminkan kesamaan derajat antar
manusia. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang demokratis.
Ngaing, sia, déwék, dia, kula dsb adalah bahasa komunikasi egaliter sehari-hari antara kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat Sunda lama (buhun).
Dan, seperti diketahui, Sunda mengenal feodalisme setelah masuknya
pengaruh Mataram selama tiga abad yang diantara peninggalannya sekarang
adalah undak-usuk basa Sunda nu ngalieurkan tersebut.
Bukti lain yang mempertegas adalah seni pewayangan. Pada masyarakat
Jawa, lakon cerita wayang merupakan sumber ilham dalam memahami
fungsi-fungsi sosial mereka dalam hidup berbangsa dan berbudaya. Epos
Mahabarata dan Ramayana menjadi sumber pendidikan etika yang
menghasilkan perilaku-perilaku yang kastaistis seperti kemunculan kelas ningrat dan wong cilik.
Pada masyarakat Sunda, seni pewayangan lebih merupakan media hiburan
pelepas lelah dalam aktifitas agrarisnya sehari-hari. Orang Sunda tidak
menjadikan lakon cerita wayang sebagai sabda suci yang mesti diteladani.
Mereka telah memiliki etika agraris yang sangat kuat yang tidak bisa
digantikan oleh etika Hindu-Budha seperti yang ditunjukkan dalam
pewayangan Jawa yang sangat rumit dengan nilai-nilai filosofisnya. Sifat
rumit, abstrak dan filosofis pewayangan Jawa sudah banyak diungkap oleh
banyak peneliti seperti Donald K. Emmerson, Ben Anderson, Karl D.
Jackson, Clifford Geertz, Soemarsaid Moertono, Selo Seomarjan, Fachry
Ali dll. Egalitarianisme masyarakat agraris dan kepercayaan monoteistik
orang Sunda yang sudah lama berakar kuat justru menjadi bekal penerimaan
orang Sunda terhadap ajaran agama baru yang sesuai dengan kultur,
tradisi dan kepercayaan mereka yaitu Islam. Ketika Islam datang ke tatar
Sunda dan mulai berinteraksi dengan masyarakatnya, spontan mendapat
sambutan yang sangat luar biasa, terutama dari kalangan rakyat biasa.
Tidak heran, bila Islamisasi yang dirintis oleh Sunan Gunung Djati,
Maulana Hasanuddin, Syekh Abdul Muhyi dan oleh para ulama penerusnya
sangat mudah dan berakar yang kemudian menjadikan masyarakat Sunda
sebagai masarakat Islam.
Tradisi nomaden masyarakat Sunda lama yang berpindah-pindah,
monoteisme kepercayaannya, egalitarianisme budaya, tradisi komunikasi
yang demokratis dan pengaruh Islam yang luas setelahnya, adalah
penyebab-penyebab kuat tidak ditemukannya banyak Candi di tatar Sunda
sebagai simbol feodalisme, hegemoni kerajaan dan nilai-nilai Hindu.
Egalitarianisme nilai-nilai masyarakat dan demokratisnya pola komunikasi
antara penguasa dengan rakyat berpengaruh pada cara raja dan rakyatnya
memandang kekuasaan dan cara memandang dirinya masing-masing. Raja tidak
merasa perlu memisahkan dirinya dalam sebuah bangunan Candi yang kokoh
dan eksklusif yang jauh dari rakyatnya. Sebagaimana keraton berfungsi
sebagai simbol pemisahan yang jelas antara kompleks kekuasaan raja
dengan rakyatnya, candi juga dibangun sebagai simbol penegasan yang
jelas antara raja dan rakyatnya dan lebih merupakan sarana eksklusif
para raja melakukan ritus sesembahan dan pemujaan. Di tatar Sunda yang
egaliter dan kedekatannya dengan alam sebagai masyarakat agraris
menyebabkan fokus sesembahan dan penghormatan lebih langsung kepada alam
dan ke sanghyang ketimbang kepada para raja.
Hanya Satu Kerajaan
Di Nusantara, fungsi candi bukan hanya sebagai tempat beribadah para
raja semata, tetapi juga sebagai monumen sebuah dinasti yang berkuasa.
Pertarungan politik dan adu gengsi kekuasaan antar kerajaan telah
menghasilkan candi-candi megah di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur
seperti Wangsa Syailendra dengan Candi Borobudurnya dan Wangsa Sanjaya
dengan Candi Prambanannya. Pergantian kekuasaan kerajaan, baik melalui
suksesi formal maupun melalui perebutan kekuasaan selalu diiringi dengan
pembangunan candi megah sebagai monumen kekuasaannya. Ketika kita
menyaksikan banyaknya candi-candi besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
maka kita dapat menduga selain sebagai simbol majunya sebuah kerajaan,
betapa banyaknya pula konflik dan persaingan politik yang terjadi di
Jawa pada zaman itu.
Fungsi candi sebagai monumen kekuasaan raja seperti ini juga tidak
ditemukan di tatar Sunda karena kerajaan yang berkuasa di tatar Sunda
hanya satu yaitu Kerajaan Sunda. Hanya pusat pemerintahannya saja yang
berpindah-pindah sejak dari Galuh (Ciamis), pindah ke Pakuan Padjadjaran
(Bogor), pindah lagi ke Kawali (Ciamis) dan kemudian pindah ke Pakuan
lagi (Sartono Kartodirdjo, 1977). Dengan kata lain, kekuasaan raja di
Sunda tersentralisir dan kemungkinan keratonnya pun hanya satu. Tetapi
–paling tidak hingga saat ini— keratonnya pun belum ditemukan berada di
kota mana dari tempat yang berpindah-pindah itu. Candi yang sudah
ditemukan pun, seperti candi Cangkuang di Garut, candi di Batujaya
Karawang dan di Bojongmenje Rancaekek, Bandung, selain tafsirnya belum
bisa dipastikan alias kontroversial, juga belum merepresentasikan
sebagai bekas peninggalan kekuasaan kerajaan Sunda. Dengan demikian,
kekuasaan tunggal yaitu kerajaan Sunda adalah alasan kuat yang mendukung
alasan-alasan lain yang sudah dikemukakan tentang tidak banyaknya candi
di Tatar Priangan.
Dari uraian di atas, kelangkaan candi di sebuah kawasan tidak selalu
merefleksikan tingkat peradaban. Candi hanyalah salah satu bangunan
monumental yang dibangun oleh sebuah dinasti kerajaan untuk kebutuhan
prestise sesembahan keluarga raja, selain sebagai simbol kekuasaan.
Kerajaan Sunda adalah kerajaan kuat yang terbukti ketika kerajaan
Madjapahit dan Mataram berada dipuncak kekuasaannya, berbeda dengan
kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, kerajaan Sunda tidak menjadi
taklukannya. Dengan demikian, pendirian candi dalam sebuah wilayah
kekuasaan lebih berhubungan langsung dengan pola kekuasaan, konsep
teologis dan tradisi politik yang berkembang. Tampaknya, sesuai dengan
kecenderungan kuat konsep teologisnya yang monoteistik, tradisi pola
komunikasi yang demokratis antara penguasa dan rakyatnya serta kekuasaan
Sunda yang terpusat dan tunggal, kelangkaan candi di Tatar Sunda memang
sebuah kemestian sejarah. Inilah kekhasan lokal masyarakat Sunda.
Dengan demikian, masyarakat Sunda perlu membuang semacam “ratapan
historis” yang tidak perlu karena langkanya candi di Jawa Barat. Sekali
lagi, bangunan candi tidak mengindikasikan tinggi-rendahnya peradaban.
Sistem sosial dan kebudayaan Sunda lebih berorientasi pada nilai-nilai,
relijiusitas dan hal-hal lain yang bersifat abstrak yang itu justru
menunjukkan ketinggian peradabannya. Karenanya, penerimaan Islam pun
lebih mudah prosesnya.
Candi kebanggaan masyarakat Sunda sekarang adalah “candi Islam” yaitu
puluhan ribu masjid yang hampir ada di setiap RT di seluruh Jawa Barat.
Begitu mengagungkannya, banyak daerah masyarakat Sunda yang lingkungan
rumah penduduknya sederhana tapi masjidnya megah dan mewah. Sayangnya,
candi-candi itu adalah singkatan dari “candi eusian” karena masih kosong oleh shalat rutin berjama’ah. Mungkin, karena terlalu banyaknya sehingga pengisiannya terpencar-pencar. Wallahu a’lam!!
Sumber : http://moefarticles.wordpress.com/2011/01/08/argumen-langkanya-bangunan-candi-di-tatar-sunda/