Tuesday, December 4, 2012

Menjawab Misteri Langkanya Candi di Tatar Sunda

Salah satu misteri dalam sejarah Jawa Barat selama ini adalah kelangkaan bangunan-bangunan candi peninggalan kerajaan-kerajaan masa lampau. Walau ditemukan beberapa, tapi sangat sedikit dan tak sebanding dengan yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Padahal, di Jawa Barat terdapat kerajaan-kerajaan besar Sunda pra-Islam: Tarumanegara kemudian Pajajaran yang pusatnya terdapat di tiga kota: Pakuan, Galuh, dan Sumedang. Jawaban yang sudah mengemuka selama ini ada dua: Pertama, alasan sosiologis-agrikultural yaitu mata pencaharian utama penduduk Sunda yang ngahuma (berladang) kemudian bersawah. Ciri masyarakat ladang adalah tradisi nomaden yaitu selalu berpindah tempat untuk mencari lahan yang subur. Kebiasaan ini berpengaruh pada tempat tinggal orang Sunda yang tidak memerlukan bangunan permanen yang kokoh seperti candi. Kedua, alasan Islamisasi. Islamisasi di Sunda cenderung lebih intensif dibanding dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Proses Islamisasi yang lebih intensif berpengaruh pada militansi beragama orang Sunda. Karena keislamannya yang kuat, masyarakat Sunda yang sudah masuk Islam diduga “menghancurkan” bangunan candi-candi sebagai peninggalan agama Hindu Budha dan tempat pemujaan yang bertentangan dengan keyakinan yang diajarkan Islam. Hingga saat ini kedua asumsi tersebut belum didukung oleh bukti-bukti sejarah. Tulisan pendek ini akan menjawab pertanyaan di atas melalui tiga argumen: monoteisme orang Sunda, tradisi egalitarian masyarakat dan tradisi kekuasaan Sunda pra-Islam.

Monoteisme Orang Sunda Lama
Dari berita sejarah yang ada dan dari hasil penelitian arkeologi terkini, kawasan Sunda adalah daerah yang pertama mengalami apa yang disebut Goerge Coédes sebagai “Indianized states.” Kerajaan Hindu tertua itu berada di Sunda yaitu Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-4 M yang masa puncak kejayaannya terjadi pada masa Raja Purnawarman (394 – 434). Aktifitas politik pemerintahan dengan rangkaian kegiatan birokratisnya telah berjalan sejak awal-awal abad masehi. Hal ini menunjukan bahwa orang-orang Sunda adalah masyarakat pertama di Nusantara yang telah mengerti dan menggunakan mekanisme birokrasi dalam mengatur hubungan penguasa-rakyat dan hubungan sosial antara masyarakatnya.

Pengaruh Hindu dan Budha yang datang dari India setelah mengalami proses sinkretisasi dengan agama lokal (animisme dan dinamisme) mulai diterima oleh kalangan elit politik kerajaan. Stratifikasi sosial yang kastaistis telah memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri bagi para aristokrat kerajaan, sementara masyarakat lapisan luar kerajaan masih menggunakan keyakinan lama yang menyembah hyang yang oleh Fa-Hien disebut sebagai “agama yang buruk” seperti tertuang dalam laporan berita Cina. Ungkapan “agama yang buruk” oleh Fa-Hien ini merupakan ungkapan yang biasa diucapkan oleh orang yang taat pada suatu agama terhadap orang yang beragama lain.

Dalam konsepsi teologis orang Sunda pra Hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat lainnya. Hyang mengusai seluruh roh-roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. Pada masa masuknya pengaruh Hindu, konsep ke-esa-an hyang terpelihara karena semua dewa Hindu tunduk dan takluk pada hyang ini, kekuatannya dianggap melebihi dewa-dewa Hindu yang datang kemudian. Dengan kata lain, orang-orang Sunda pra Hindu-Budha sudah menganut faham monoteistis dimana hyang dihayati sebagai maha pencipta dan penguasa tunggal di alam raya. Konsepsi ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu Allah, ketika muncul proses Islamisasi di Nusantara. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus menyembah Hyang (Yang Tunggal) sama dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa dalam agama Islam.

Ketika pengaruh Hindu masuk ke masyarakat Sunda lama, ajaran Hindu mempengaruhi keyakinan lokal masyarakat yang sudah mapan. Kedua keyakinan teologis ini kemudian mengalami proses sinkretisasi. Ini tergambar dalam hirarki kepatuhan yang terdapat pada Naskah Siksakandang Karesian yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan) yang isinya sebagai berikut : “Anak satia babakti ka bapa; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka mantri; mantri satia babakti kanu manganan (komandan); nu manganan satia babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja satia babakti ka dewata; dewata satia babakti ka hyang.” Konsep hyang adalah yang tertinggi dan paling berkuasa. Sistem keyakinan ini sudah hidup pada orang Sunda jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu dan Budha pada awal masehi.

Tradisi sesembahan orang Sunda pra Hindu-Budha tidak terpusat di candi tapi menyembah hyang di kahiyangan. Konsep kahiyangan sangat abstrak alias tidak mengacu pada tempat fisik dan bangunan. Kahiyangan merupakan tempat para dewa bersemayam (ibarat ‘Arsy-nya Allah dalam Islam) mulai dari para dewa lokapala (pelindung dunia) sampai pwah sanghyang sri (dewi padi), pwah naga nagini (dewi bumi) dan pwah soma adi (dewi bulan) yang menghuni jungjunan bwana (puncak dunia). Tradisi orang Sunda menyembah hyang adalah salah satu alasan yang menjelaskan kelangkaan candi di Tatar Sunda Priangan. Kuatnya kepercayaan Sunda lama terhadap hyang yang monoteistik tidak mendorong orang Sunda untuk membangun candi sebagai pusat peribadatan sebagai mana di Jawa Tengah dan Timur. Satu dua candi kecil yang ditemukan di Jawa Barat, ketimbang menunjukkan kuatnya pengaruh agama Hindu-Budha, tampaknya dibangun lebih sebagai simbol kekuasaan bahwa disitu pernah ada penguasa kecil, keturunan dari Kerajaan Sunda. Agama Sunda Wiwitan di Kanekes Banten yang mengenal adanya Allah dan Nabi Adam tapi tidak mengenal syari’at Islam memperkuat adanya persambungan konsep monoteisme orang Sunda lama yang terpengaruh Islam.

Tradisi Egaliter Orang Sunda
Pengaruh ajaran Hindu-Budha yang masuk ke pulau Jawa nampaknya kurang begitu kuat meresap pada masyarakat Sunda karena masyarakat Sunda sudah terikat kuat dalam menganut keyakinan aslinya yang bercorak monoteistis yaitu mengabdi pada hyang tungga seperti dijelaskan di atas. Bukti kuat pernyataan ini adalah bahwa hingga saat ini bukti-bukti arkeologis yang mendukung kuatnya pengaruh Hindu-Budha sangat sedikit ditemukan di Jawa Barat. Sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur, banyaknya peninggalan bangunan dan monumen sakral yang bercorak Hindu dan Budha merupakan bukti sosialisasi Hindu dan Budha yang sangat intensif, baik yang dilakukan oleh kalangan keraton maupun rakyatnya.

Kuatnya penyebaran agama Hindu-Budha di masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur diantaranya disebabkan konsep god-kings (dewa-raja) yang sesuai dengan tradisi berfikir masyarakat Jawa ketika itu. Bagi masyarakat Jawa, raja dihayati sebagai panutan mutlak karena dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Gelar para raja adalah gabungan dari dua otoritas yaitu otoritas politik (raja) dan otoritas religius (dewa) yang tergabung dalam istilah-itilah seperti rajaresi, khalifatullah fil ‘ardhi sayidin panatagama dan lain-lain. Di sisi lain, kepatuhan mutlak kepada raja juga merupakan ajaran Hindu seperti terlihat dari sistem kasta dan klasifikasi sosial yang sangat ketat. Ini dibuktikan oleh perbedaan status sosial yang feodalistik dalam stratifikasi masyarakat Jawa antara kelas ningrat atau priyayi dan wong cilik. Penghayatan raja sebagai titisan dewa dan adanya kelas sosial yang tajam ini berakibat pada tiadanya perbedaan pendapat antara raja dengan rakyatnya, termasuk dalam persoalan agama. Keraton dalam kebudayaan Jawa adalah pemegang otoritas kebenaran yang berfungsi sentral baik dalam agama, politik dan kebudayaan.

Pada masyarakat Sunda, pola seperti ini tidak ditemukan. Corak budaya yang berkembang adalah kebudayaan rakyat dimana posisi keraton tidak terlalu menentukan pembentukan stratifikasi kelas dan variasi budaya. Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Sunda didominasi oleh kebudayaan agraris dengan berbagai keunikannya. Bila kebudayaan Jawa adalah kebudayaan feodal yang hirarkis, kebudayaan Sunda adalah kebudayaan rakyat yang egaliter yang mencerminkan kesamaan derajat antar manusia. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang demokratis. Ngaing, sia, déwék, dia, kula dsb adalah bahasa komunikasi egaliter sehari-hari antara kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat Sunda lama (buhun). Dan, seperti diketahui, Sunda mengenal feodalisme setelah masuknya pengaruh Mataram selama tiga abad yang diantara peninggalannya sekarang adalah undak-usuk basa Sunda nu ngalieurkan tersebut.

Bukti lain yang mempertegas adalah seni pewayangan. Pada masyarakat Jawa, lakon cerita wayang merupakan sumber ilham dalam memahami fungsi-fungsi sosial mereka dalam hidup berbangsa dan berbudaya. Epos Mahabarata dan Ramayana menjadi sumber pendidikan etika yang menghasilkan perilaku-perilaku yang kastaistis seperti kemunculan kelas ningrat dan wong cilik. Pada masyarakat Sunda, seni pewayangan lebih merupakan media hiburan pelepas lelah dalam aktifitas agrarisnya sehari-hari. Orang Sunda tidak menjadikan lakon cerita wayang sebagai sabda suci yang mesti diteladani. Mereka telah memiliki etika agraris yang sangat kuat yang tidak bisa digantikan oleh etika Hindu-Budha seperti yang ditunjukkan dalam pewayangan Jawa yang sangat rumit dengan nilai-nilai filosofisnya. Sifat rumit, abstrak dan filosofis pewayangan Jawa sudah banyak diungkap oleh banyak peneliti seperti Donald K. Emmerson, Ben Anderson, Karl D. Jackson, Clifford Geertz, Soemarsaid Moertono, Selo Seomarjan, Fachry Ali dll. Egalitarianisme masyarakat agraris dan kepercayaan monoteistik orang Sunda yang sudah lama berakar kuat justru menjadi bekal penerimaan orang Sunda terhadap ajaran agama baru yang sesuai dengan kultur, tradisi dan kepercayaan mereka yaitu Islam. Ketika Islam datang ke tatar Sunda dan mulai berinteraksi dengan masyarakatnya, spontan mendapat sambutan yang sangat luar biasa, terutama dari kalangan rakyat biasa. Tidak heran, bila Islamisasi yang dirintis oleh Sunan Gunung Djati, Maulana Hasanuddin, Syekh Abdul Muhyi dan oleh para ulama penerusnya sangat mudah dan berakar yang kemudian menjadikan masyarakat Sunda sebagai masarakat Islam.

Tradisi nomaden masyarakat Sunda lama yang berpindah-pindah, monoteisme kepercayaannya, egalitarianisme budaya, tradisi komunikasi yang demokratis dan pengaruh Islam yang luas setelahnya, adalah penyebab-penyebab kuat tidak ditemukannya banyak Candi di tatar Sunda sebagai simbol feodalisme, hegemoni kerajaan dan nilai-nilai Hindu. Egalitarianisme nilai-nilai masyarakat dan demokratisnya pola komunikasi antara penguasa dengan rakyat berpengaruh pada cara raja dan rakyatnya memandang kekuasaan dan cara memandang dirinya masing-masing. Raja tidak merasa perlu memisahkan dirinya dalam sebuah bangunan Candi yang kokoh dan eksklusif yang jauh dari rakyatnya. Sebagaimana keraton berfungsi sebagai simbol pemisahan yang jelas antara kompleks kekuasaan raja dengan rakyatnya, candi juga dibangun sebagai simbol penegasan yang jelas antara raja dan rakyatnya dan lebih merupakan sarana eksklusif para raja melakukan ritus sesembahan dan pemujaan. Di tatar Sunda yang egaliter dan kedekatannya dengan alam sebagai masyarakat agraris menyebabkan fokus sesembahan dan penghormatan lebih langsung kepada alam dan ke sanghyang ketimbang kepada para raja.

Hanya Satu Kerajaan
Di Nusantara, fungsi candi bukan hanya sebagai tempat beribadah para raja semata, tetapi juga sebagai monumen sebuah dinasti yang berkuasa. Pertarungan politik dan adu gengsi kekuasaan antar kerajaan telah menghasilkan candi-candi megah di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Wangsa Syailendra dengan Candi Borobudurnya dan Wangsa Sanjaya dengan Candi Prambanannya. Pergantian kekuasaan kerajaan, baik melalui suksesi formal maupun melalui perebutan kekuasaan selalu diiringi dengan pembangunan candi megah sebagai monumen kekuasaannya. Ketika kita menyaksikan banyaknya candi-candi besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka kita dapat menduga selain sebagai simbol majunya sebuah kerajaan, betapa banyaknya pula konflik dan persaingan politik yang terjadi di Jawa pada zaman itu.

Fungsi candi sebagai monumen kekuasaan raja seperti ini juga tidak ditemukan di tatar Sunda karena kerajaan yang berkuasa di tatar Sunda hanya satu yaitu Kerajaan Sunda. Hanya pusat pemerintahannya saja yang berpindah-pindah sejak dari Galuh (Ciamis), pindah ke Pakuan Padjadjaran (Bogor), pindah lagi ke Kawali (Ciamis) dan kemudian pindah ke Pakuan lagi (Sartono Kartodirdjo, 1977). Dengan kata lain, kekuasaan raja di Sunda tersentralisir dan kemungkinan keratonnya pun hanya satu. Tetapi –paling tidak hingga saat ini— keratonnya pun belum ditemukan berada di kota mana dari tempat yang berpindah-pindah itu. Candi yang sudah ditemukan pun, seperti candi Cangkuang di Garut, candi di Batujaya Karawang dan di Bojongmenje Rancaekek, Bandung, selain tafsirnya belum bisa dipastikan alias kontroversial, juga belum merepresentasikan sebagai bekas peninggalan kekuasaan kerajaan Sunda. Dengan demikian, kekuasaan tunggal yaitu kerajaan Sunda adalah alasan kuat yang mendukung alasan-alasan lain yang sudah dikemukakan tentang tidak banyaknya candi di Tatar Priangan.

Dari uraian di atas, kelangkaan candi di sebuah kawasan tidak selalu merefleksikan tingkat peradaban. Candi hanyalah salah satu bangunan monumental yang dibangun oleh sebuah dinasti kerajaan untuk kebutuhan prestise sesembahan keluarga raja, selain sebagai simbol kekuasaan. Kerajaan Sunda adalah kerajaan kuat yang terbukti ketika kerajaan Madjapahit dan Mataram berada dipuncak kekuasaannya, berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, kerajaan Sunda tidak menjadi taklukannya. Dengan demikian, pendirian candi dalam sebuah wilayah kekuasaan lebih berhubungan langsung dengan pola kekuasaan, konsep teologis dan tradisi politik yang berkembang. Tampaknya, sesuai dengan kecenderungan kuat konsep teologisnya yang monoteistik, tradisi pola komunikasi yang demokratis antara penguasa dan rakyatnya serta kekuasaan Sunda yang terpusat dan tunggal, kelangkaan candi di Tatar Sunda memang sebuah kemestian sejarah. Inilah kekhasan lokal masyarakat Sunda. Dengan demikian, masyarakat Sunda perlu membuang semacam “ratapan historis” yang tidak perlu karena langkanya candi di Jawa Barat. Sekali lagi, bangunan candi tidak mengindikasikan tinggi-rendahnya peradaban. Sistem sosial dan kebudayaan Sunda lebih berorientasi pada nilai-nilai, relijiusitas dan hal-hal lain yang bersifat abstrak yang itu justru menunjukkan ketinggian peradabannya. Karenanya, penerimaan Islam pun lebih mudah prosesnya.

Candi kebanggaan masyarakat Sunda sekarang adalah “candi Islam” yaitu puluhan ribu masjid yang hampir ada di setiap RT di seluruh Jawa Barat. Begitu mengagungkannya, banyak daerah masyarakat Sunda yang lingkungan rumah penduduknya sederhana tapi masjidnya megah dan mewah. Sayangnya, candi-candi itu adalah singkatan dari “candi eusian” karena masih kosong oleh shalat rutin berjama’ah. Mungkin, karena terlalu banyaknya sehingga pengisiannya terpencar-pencar. Wallahu a’lam!!

Sumber : http://moefarticles.wordpress.com/2011/01/08/argumen-langkanya-bangunan-candi-di-tatar-sunda/

Wednesday, November 14, 2012

Lingkungan dan Kelanggengan Sebuah Negara

KERAJAAN Majapahit, 1293-1500 (2,07 abad); Kerajaan Kediri, 1042-1222 (1,8 abad); Kerajaan Singosari, 1222-1292 (70 tahun); Kerajaan Sunda, 669-1579 (9,1 abad). Dari fakta sejarah ini pertanyaan yang muncul adalah kenapa Kerajaan Sunda dapat bertahan 9 abad lebih sedangkan kerajaan lainnya di Pulo Jawa, termasuk Kerajaan Majapahit yang termashur, tidak lebih dari 2,5 abad?

Hingga saat ini parasejarawan di Jawa Barat belum ada yang bisa memberi penjelasan atau argumen mengenai kejayaan Kerajaan Sunda. Kalaupun ada yang mencoba membahasnya pada umumnya hanya bertumpu pada ilustrasi sipat orang Sunda yang tidak rakus kekuasaan, sehingga di Kerajaan Sunda tidak pernah terjadi perang memperebutkan kerajaan.

Sudah barang tentu argumen tersebut tidak cukup untuk menjelaskan mengenai apa yang menyebakan Kerajaan Sunda yang dapat bertahan selama 9 abad lebih itu. Bahkan memunculkan pertanyaan baru: Kenapa orang Sunda tidak tergiur oleh kekuasaan? Kenapa orang Sunda tidak memperdulikan tahta atau kedudukan, setidaknya sampai jatuhnya Kerajaan Sunda?

Untuk menjawab pertanyaan kenapa Kerajaan Sunda dapat bertahan selama 9,1 abad, dugaan (hipotesa) lain yang patut dikedepankan adalah: karena paktor alam. Di wilayah Kerajaan Sunda yang meliputi Jakarta, Banyumas, dan sebagian daerah Brebes, terdapat banyak gunung berapi sehingga tanahnya subur, daerahnya berbukit-bukit yang memberikan air berlimpah ruah pada penduduk.

Dengan kata lain, alam di wilayah Kerajaan Sunda memudahkan orang Sunda untuk menjalani kehidupan dengan baik dan teratur, termasuk dalam hal mementukan tara ruang. Alam telah memberikan segala-galanya pada orang Sunda termasuk keindahan pemandangannya. Ada pernyataan yang termashur: Tuhan menciptakan Priangan sambil tersenyum.

Jaman Kerajaan Sunda, raja-raja Sunda sangat memperhatikan sekali lingkungan, demikian juga kerajaan-kerajan bagian (Kerajaan Sunda menganut sistem seperti negera federal sekarang, tidak memusatkan kekuasaan pada satu tempat atau satu tangan, tidak seperti di kerajaan di Jawa). Bahkan di salahsatu kerajaan bagian, rajanya memberlukan hukuman mati bagi yang merusak alam.

Naskah kuna Carita Parahyangan (CP) tatkala menggambarkan keberhasilan Prabu Wastukancana dalam memimpin Kerajaan Sunda menulis begini (terjemahaan): Air, cahaya, angin, langit, dan bumi pun merasa senang berada dalam genggaman pelindung dunia. Ini mengandung arti para panguasa Sunda memperlakukan alam dengan baik. Mereka sangat mengerti pada keadaan alam di wilayahnya.

Karena itu, jaman Kerajaan Sunda, di Tatar Sunda menurut beberapa peminat sejarah, tidak pernah terjadi bencana alam, banjir, longsor dan sebagainya. Perobahan iklim dunia tidak terasa di Tatar Sunda, karena Tatar Sunda mempunyai iklim mikro yang mampu membendung pengaruh iklim global. Meskipun dalam hal gunung meletus, data geologi menunjukkan di wilayah Tatar Sunda pernah terjadi.

Keadaan alam Tatar Sunda berbeda dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Naskah kuna Pararaton, sumber sejarah penting di Jawa Timur, beberapa kali menyebutkan terjadinya gunung meletus saat di Majapahit berkecamuk perang Paregreg sepeninggal Hayam Wuruk. Bahkan menurut Pararaton, Majapahit pernah dilanda krisis pangan yang sangat parah.

Parageolog menduga di wilayah Majapahit pernah terjadi musibat seperti lumpur Lapindo sekarang. Konon Sungai Berantas juga alirannya berpindah, padahal sungai tersebut urat nadi perekonomian jaman itu. Karena itu bisa disebutkan kejatuhan Majapahit bukan hanya semata-semata terjadi perang saudara memperebutkan tahta dan kekuasaan, tetapi juga karena paktor, termasuk bencana alam.

Akan tetapi, karena manusia sekarang ini tidak mampu membaca dan memaknai sejarah, di Tatar Sunda alam dan lingkungan tidak dijaga dengan baik, malah sebaliknya dirusak habis-habisan. Jawa Barat pun menjadi daerah yang paling rawan bencana: longsor, musim kemarau terjadi kekeringan sehingga lahan pertanian kekurangan air, dan pada musim hujan banjir selalu menjadi persoalan.

Sisa-sisa kearifan parapendahulu Sunda tentang alam dan lingkungan, masih dapat dijumpai di masyarakat adat: di Kanekes (Baduy), Kampung Naga, Kampung Dukuh, Kampung Kuta, Kampung Ciptagelar, dan Kampung Cikondang. Mereka menjalankannya dengan konsisten sehingga hutan lindung (leuweung tutupan) yang mereka miliki terjaga kelestariannya.

Berkaitan dengan keadaan alam dan lingkungan secara nasional, kita dapat menaruh tanda tanya besar di belakang kata Indonesia. Negara kita sudah berumur 65 tahun (1945-2010). Jika kerusakan alam dan lingkungan semakin menjadi-jadi dan tidak ada upaya yang sistemik untuk mencegahnya, kira-kira mampukah negara kita dapat bertahan lebih dari dua abad?

sumber : http://yasirmaster.blogspot.com/2011/12/lingkungan-dan-kelanggengan-sebuah.html

Thursday, October 25, 2012

Doa Untuk Orang Tua Dan Saudaraku

Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo

“Ya Tuhanku! Ampunilah aku,
ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”



Robbanaghfir lii wa lii waalidayya wa lilmu’miniina yawma yaquumul hisaab

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” [Ibrahim:41]


Ya Allah,
Kami memohon mudahkanlah aku & saudara saudara ku dalam menghadapi masalah2 hidupnya,
Maafkan kami atas kesalahan & dosa dosa kami masa lalu ya Allah,
Perbaiki dan Sempurnakanlah amal ibadahnya,
Lapangkan rizkinya,
Bahagiakanlah hidupnya,
Jadikanlah pasangan hidupnya yang setia & penyayang,
Berikanlah kepadanya anak2 yang sholeh,
Berikanlah Petunjuk & Hidayah-Mu untuk kami menjadi keluarga yang sholeh,
Kabulkanlah doa kami ya Rab,
Wahai Allah Yang Maha Pengabul Doa,
Amien Yaa Rab Allamiiin.

Sumber : http://www.belida.com/node/81

7 kalimat suci seorang muslim

Terdapat 7 (tujuh) Kalimat Suci, yaitu:

1.Bismillahirrahmanirrahiim:
Setiap hendak melakukan sesuatu.

2.Alhamdulillah:
Setiap habis melakukan sesuatu.

3.Astaghfirullah:
jika melakukan sesuatu yg buruk.

4.Insya Allah:
jika ingin melakukan sesuatu pada masa yang akan datang.

5.Laa hawla walaaquwwata illaah billaah:
bila tidak bisa melakukan sesuatu yang agak berat/melihat hal yang buruk.

6.Innalillahi wainna ilaihi rojiun;
jika melihat/menghadapi musibah.

7.Lailaha illallah:
bacalah siang & malam sebanyak2nya.

Ada 2 (dua) pilihan untuk anda:
1. Biarkan didalam inbox anda tanpa bermanfaat untuk org lain.
2. Anda sebarkan pada semua kenalan anda.

Rasulullah bersabda:
"Barang siapa yang menyampaikan 1 (satu) ilmu saja dan ada orang yg mengamalkan, maka walaupun yang menyampaikan sudah tiada (meninggal dunia), dia akan tetap memperoleh pahala"

Sumber : http://www.belida.com/node/67

7 kalimat yg harus dibiasakan

1. بِــــــــــسْمِ الَّلهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـم
Setiap hendak melakukan sesuatu.

2. اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْـعَالَمِيْـن
Setiap habis melakukan sesuatu.

3. اَسْتَغْفِرُاللَهَ الْعَظِيْمِ
jika melakukan sesuatu yg buruk.

4. اِنْشَاءَ اللَّه
jika ingin melakukan sesuatu pada masa yang akan datang.

5. لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَاِلاَّبِاللَّه
bila tidak bisa melakukan sesuatu yang agak berat / melihat hal yang buruk.

6. اِنَّالِلَه وَاِنَّااِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
jika melihat / menghadapi musibah.

7. لاَاِلَهَ اِلاَّاللَه مُحَمَّدَالرَّسُوْلُ اللَه


Sumber : http://www.belida.com/node/164

Wednesday, October 24, 2012

Kearifan Ekologis Karuhun Sunda Melalu Uga Tanah Cawisan

Oleh : Nandang Rusnandar

Uga bagi masyarakat Sunda, merupakan salah satu bentuk pengungkapan prediksi antisipatif dari generasi karuhun untuk dipedomani mengenai kejadian-kejadian pada masa yang akan datang. Uga Bandung secara khusus dan uga Sunda secara umum banyak yang mengutarakan mengenai bagaimana pentingnya memelihara lingkungan hidup. Orang Baduy di daerah Banten misalnya mempunyai suaka pemujaan yang disebut Sasakadomas dan tempat-tempat yang dianggap suci lainnya. Menurut kepercayaannya tempat suci itu merupakan sasaka pusaka buana yang harus dijaga diraksa ‘harus dipelihara dan dijaga’ dari kerusakan. Demikian pula dengan tanah cawisan yang dianggap suci ini harus dijaga dari kerusakan alam. Hal itu pun terlihat pula di Kampung Adat Dukuh di Garut Selatan, di sana ada lokasi tanah cawisan yang dianggap suci dan tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang.

Uga yang menyatakan akibat dari sebuah perbuatan dan pada akhirnya alam menjadi korban, termasuk manusia di dalamnya, sehingga mereka semua menuju suatu tempat yang telah dicawiskeun ‘diperuntukkan’, dapat dilihat pada uga di bawah ini,

1. Bandung téh bakal kakeueum, bakal pindah ka tegal harendong.
2. Jaga Bandung bakal jadi sagara, ngarungsina ka tegal haréndong. Tegal haréndong téh leuweung    panyampayan. Petana téh ti Cipelah bras ka Citambur anjog ka hiji leuweung, tah éta tegal haréndong.
3. Jaga Bandung bakal kakeueum, sabeulah urang Bandung ka kidul bagéanana ka Gunung Cikuray, sabeulahna ka kalér, bagéanana ka Gunung Tangkubanparahu 


Uga di atas menunjukkan adanya akibat yang ditimbulkan ketika Bandung mengalami perubahan, dari kota menjadi kakeueum air atau menjadi lautan. Penduduk Bandung akan mengungsi atau pindah tempat menuju ke tempat yang telah ditentukan, Tegal Haréndong, Gunung Cikuray untuk penduduk Bandung Selatan sedangkan Gunung Tangkubanparahu untuk penduduk Bandung Utara. Tegal Haréndong adalah suatu tempat yang letaknya sangat samar, hanya disebutkan berada di sebuah hutan panyampayan di daerah Citambur.

4. Di mana manusa teu merhatikeun Cikapundung, Pasir Buniwangi jeung Pasir Négla, bakal urug, tuluy mangpet ngabendung wahangan. Jeung dimana ngemplangna nepi Maribaya Cibodas, nu ngabendung tuluy bedah, Bandung kaléléd, kakeueum ; laju Bandung jadi talaga deui.

Uga di atas menyatakan Bandung akan mengalami kejadian perubahan alam yang mengakibatkan Bandung menjadi kakeueum, talaga ‘terendam air, dan telaga’, diakibatkan oleh keserakahan manusia yang berada di kota Bandung tanpa melihat akibat yang ditimbulkan di kemudian hari. Makna dari kata kakeueum dan talaga dapat menunjukkan makna konotatif dan denotatif, yaitu sesak oleh manusia, keadaan semacam itu mengakibatkan kota Bandung diibaratkan sebagai lautan, atau akibat dari perbuatan yang tidak bertanggungjawab dan melupakan kearifan lokal, maka Bandung menjadi kakeueum dan talaga, seperti dalam Uga /4/ bagi manusia yang tidak lagi memerhatikan Cikapundung dan Citarum maka akibatnya banjir di mana-mana, maka ada kemungkinan Bandung akan menjadi telaga kembali.

Uga lain yang masih senada,

5. Urang Bandung mah bakal ka tegal haréndong (ceuk riwayat di daérah pakidulan Pangaléngan, di dinya aya nu disebut Tegal Bandung, cawisan keur urang Bandung. (dipelakan ku urang pangaléngan tara jadi)
6. Di daérah Subang aya cabé panayogian nu geus tumoké (tos badé asak), Urang Bandung lumpat ka Tegal Bandung atawa Tegal Layapan di Subang. Bandung heurin ku tangtung 


Setiap uga lokal memiliki obsesi sebagai orientasi tempat yang akan berkembang sesuai dengan perkembangan daerahnya, uga di atas misalnya, menggambarkan perkembangan di daerah yang ditandai dengan adanya daerah (c)awisan atau daerah peruntukkan yang ditentukan dalam uga itu sendiri. Dan apabila uga menjadi kenyataan bahwa Bandung menjadi lautan, maka ada korelasi antara kegiatan manusia yang merusak alam Bandung dengan hasil yang diakibatkannya, kemudian mereka akan pindah ke tempat yang sudah ditentukan dalam uga, seperti Tegal Harendong, Tegal Bandung, dan Tegal Layapan.

Kerarifan yang tertuang dalam uga dapat berfungsi sebagai antisipatif. Seperti daerah cawisan yang dianggap sebagai tempat yang disakralkan, maka akan membantu masyarakat setempat untuk menjadikan salah satu daerah konservasi alam sehingga tidak merusak dan mengeksploitasinya. Di samping itu uga pun dapat menjadi sarana pemberitahuan dan perhatian untuk berbuat waspada akan kehancuran alam yang disebabkan oleh ulah manusia.

Kearifan lokal yang terlupakan disebabkan oleh :

- Kurangnya minat para pemuda akan tradisi
- Sistem Pendidikan yang lebih mementingkan materi daripada nilai-nilai
- Orang tua yang tidak lagi mentransformasikan nilai-nilai tradisi
- Gaya hidup orang kota lebih banyak ditiru dan mereka melupakan tradisinya.
- Globalisasi informasi yang siap saji di depan meja mengubah sikap dan perilaku generasi muda untuk lebih melihat hal-hal yang berbau ‘modern’


Simpulan

Kita tidak terbiasa mengayun langkah antisipatif atas suatu fenomena alam, yang berakibat pada sebuah kejadian yang diprediksi uga. Bila upaya mengantisipasi itu tidak dilakukan secara sungguh-sungguh, prediksi uga akan terjadi dan menjadi kenyataan.

Seperti contoh dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kota Bandung atau rusaknya alam sulit untuk diatasi, tapi dapat diprediksi dengan memanfaatkan uga di satu pihak dan ilmu pengetahuan di pihak lain. Karena itu sangat diperlukan keseimbangan alam, eksploitasi alam tetap harus mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Adanya uga ini selayaknya dijadikan momentum untuk membiasakan langkah antisipatif ketimbang langkah reaktif. Apabila langkah reaktif yang temporal dan spasial, maka uga hanya merupakan sebuah ‘karya karuhun’ yang tidak berguna. Justru dengan adanya uga ini diharapkan para pembuat kebijakan membiasakan diri dengan langkah antisipatif. Sebab selama ini fenomena alam hanya dipahami sebagai sebuah kenyataan yang harus diterima begitu saja.

Harapan, antara pembuat kebijakan ‘pemerintah’ yang harus mampu mengungkap kearifan masyarakatnya dalam menghadapi fenomena alam ini, apalagi yang berhubungan dengan lingkungan alam. Begitu pula dengan para ahli yang menggeluti budaya harus mampu memberikan kontribusi pengetahuannya bagi pembuat kebijakan. Maka antara keduanya harus ada sinergitas, pemerintah harus memberikan peluang bagi para ahli dalam menekuni dan mengembangkan ilmunya demi pembangunan, sehingga pembangunan akan berbasis kearifan yang ditemukan oleh para ahli itu sendiri.

[1] Makalah dibacakan dalam [IA-ITB] Sarasehan Pemulihan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal tgl 28 Januari 2010 di Hotel Aston Jl. Braga Bandung.

Sumber : http://sundasamanggaran.blogspot.com/2011/03/kearifan-ekologis-karuhun-sunda-melalui.html

Thursday, September 6, 2012

Asal-Usul Sunda

Istilah Sunda kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta yakni sund atau suddha yang berarti bersinar, terang, atau putih. Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan bahasa Bali dikenal juga istilah Sunda dalam pengertian yang sama yakni bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, dan waspada.

Menurut R.W. van Bemmelen seperti dikutip Edi S. Ekadjati, istilah Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (Circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekira 7.000 km. Dataran Sunda itu terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian Utara.yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Fasifik bagian Barat serta bagian Selatan hingga Lembah Brahmaputra di Assam (India).

Dengan demikian, bagian Selatan dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di timur, terus ke arah barat melalui pulau-pulau di kepulauan Sunda Kecil (the lesser Sunda island), Jawa, Sumatra, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya, dataran ini bersambung dengan kawasan Sistem Gunung Himalaya di Barat dan dataran Sahul di Timur.

Dalam buku-buku ilmu bumi dikenal pula istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil. Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, yaitu Sumatra, Jawa, Madura, dan Kalimantan, sedangkan Sunda Kecil adalah pulau-pulau yang berukuran kecil yang kini termasuk kedalam Provinsi Bali, Nusa Tenggara, dan Timor.

Dalam perkembangannya, istilah Sunda digunakan juga dalam konotasi manusia atau sekelompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda). Di dalam definisi tersebut tercakup kriteria berdasarkan keturunan (hubungan darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus. Menurut kriteria pertama, seseorang bisa disebut orang Sunda, jika orang tuanya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu ataupun keduanya, orang Sunda, di mana pun ia atau mereka berada dan dibesarkan.

Menurut kriteria kedua, orang Sunda adalah orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai budaya Sunda. Dalam hal ini tempat tinggal, kehidupan sosial budaya dan sikap orangnya yang dianggap penting. Bisa saja seseorang yang orang tuanya atau leluhurnya orang Sunda, menjadi bukan orang Sunda karena ia atau mereka tidak mengenal, menghayati, dan mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya Sunda dalam hidupnya.

Dalam konteks ini, istilah Sunda, juga dikaitkan secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang dinamakan Kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomosili di Tanah Sunda. Dalam tata kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah. Di samping memiliki persamaan-persamaan dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri khas tersendiri yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain.

Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo “silih asih, silih asah, dan silih asuh” (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi). Di samping itu, Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan (handap asor), rendah hati terhadap sesama; penghormatan kepada orang tua atau kepada orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah ka nu leutik); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan (nulung ka nu butuh nalang ka nu susah), dsb.

Strategi budaya

“Silih asih, silih asah, dan silih asuh” (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi), merupakan pameo budaya yang menunjukkan karakter yang khas dari budaya religius Sunda sebagai konsekuensi dari pandangan hidup keagamaannya.

Saling asih adalah wujud komunikasi dan interaksi religius-sosial yang menekankan sapaan cinta kasih Tuhan dan merespons cinta kasih Tuhan tersebut melalui cinta kasih kepada sesama manusia. Dengan ungkapan lain, saling asih merupakan kualitas interaksi yang memegang teguh nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Semangat.ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang kemudian melahirkan moralitas egaliter (persamaan) dalam masyarakat. Dalam tradisi masyarakat saling asih, manusia saling menghormati, tidak ada manusia yang dipandang superior maupun inperior sebab menentang semangat ketuhanan dan semangat kemanusiaan. Mendudukan manusia pada kedudukan superior atau inperior merupakan praktek dari syirik sosial. Ketika ada manusia yang dianggap superior (tinggi), berarti mendudukkan manusia sejajar dengan Tuhan dan jika mendudukan manusia pada kedudukan yang inperior (rendah), berarti mengangkat dirinya sejajar dengan Tuhan. Dalam masyarakat saling asih manusia

didudukkan secara sejajar (egaliter) satu sama lainnya. Prisip egaliter ini kemudian melahirkan etos musyawarah, ta’awun (kerjasama) dan sikap untuk senantiasa bertindak adil. Etos dan moralitas inilah yang menjadikan masyarakat teratur, dinamis dan harmonis.

Tradisi (budaya) saling asih sangat berperan dalam menyegarkan kembali manusia dari keterasingan dirinya dalam masyarakat sehingga citra dirinya terangkat dan menemukan ketenangan. Ini merupakan sumber keteraturan, kedinamisan, dan keharmonisan masyarakat sebab manusia yang terasing dari masyarakatnya cenderung mengalami kegelisahan yang sering diikuti dengan kebingungan, penderitaan, dan ketegangan etis serta mendesak manusia untuk melakukan pelanggaran hak dan tanggung jawab sosial.

Selain itu, dalam masyarakat religius kepentingan kolektif maupun pribadi mendapat perhatian serius melalui saling kontrol, tegur sapa dan saling menasihati. Hal ini dikembangkan dalam budaya atau tradisi saling asuh. Budaya saling asuh inilah yang kemudian memperkuat ikatan emosional yang telah dikembangkan dalam tradisi saling asih pada masyarakat religius. Oleh karena itu, dalam masyarakat religius seperti ini jarang terjadi konflik dan kericuhan, tetapi ketika ada kelompok lain yang mencoba mengusik ketenangannya, maka mereka bangkit melawan secara serempak (simultan).

Budaya silih asuh inilah yang merupakan manisfestasi akhlak Tuhan yang maha pembimbing dan maha menjaga, kemudian dilembagakan dalam silih amar makruf nahy munkar.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa silih asuh merupakan etos pembebasan dalam masyarakat religius dari kebodohan, keterbelakangan, kegelisahan hidup dan segala bentuk kejahatan.

Meski demikian, budaya religius sesungguhnya memberikan peluang dalam penyerapan iptek sebab memiliki sejumlah potensi, etos keterbukaan, penalaran, analisis, dan kritis sebagai upaya perwujudan akhlak Tuhan Yang Maha Berilmu dan Mahakreatif sebagimana dikembangkan dalam budaya atau tradisi saling asah.

Masyarakat saling asah adalah masyarakat yang saling mengembangkan diri untuk memperkaya khazanah pengetahuan dan teknologi. Tradisi saling asah melahirkan etos dan semangat ilmiah dalam masyarakat. Etos dan semangat ilmiah dalam masyarakat religius merupakan upaya untuk menciptakan otonomi dan kedisiplinan sehingga tidak memiliki ketergantungan terhadap yang lain sebab tanpa tradisi iptek dan semangat.ilmiah suatu masyarakat akan mengalami ketergantungan sehingga mudah terekploitasi, tertindas, dan terjajah.

Saling asah adalah semangat interaksi untuk saling mengembangkan diri ke arah penguasaan dan penciptaan iptek sehingga masyarakat memiliki tingkat otonomi dan disiplin yang tinggi.

Dalam masyarakat religius yang saling asah, ilmu pengetahuan, dan teknologi mendapat bimbingan etis sehingga iptek tidak lagi angkuh, tetapi tampak anggun, bahkan memperkuat ketauhidan. Integrasi iptek dan etika ini merupakan terobosan baru dalam kedinamisan iptek dengan membuka dimensi transenden, dimensi harapan, evaluasi kritis, dan tanggung jawab.

Dengan demikian, budaya saling asih, saling asah dan saling asuh tetap akan selalu relevan dalam menghadapi tantangan modernisasi. Melalui strategi budaya saling asih, saling asah saling asuh, manusia modern akan dapat dikembalikan citra dirinya sehingga akan terbatas dari kegelisahan, kebingungan, dan penderitaan serta ketegangan psikologis dan etis.

Sumber : http://singalodaya.wordpress.com/2009/12/26/asal-usul-sunda/

Wednesday, August 29, 2012

Asal Mula Istilah Sunda

Disusun Oleh : Agus Setia Permana

Penggunaan istilah Sunda saat ini sulit dibedakan dengan istilah Jawa Barat, sering dicampur adukan, padahal secara histori memiliki sejarah yang berbeda. Kedua istilah tersebut mengalami perubahan pengertian dan penafsiran, sehingga sering terjadi kekeliruan dan keragu-raguan dalam penggunaannya, terutama ketika istilah Sunda hanya dikonotasikan politis, dianggap sukuisme, sehingga terpaksa istilah Sunda dalam perkumbuhan sosial dan budaya harus diganti dengan sebutan Jawa Barat.

Istilah Sunda dalam catatan masa lalu diterapkan untuk menyebutkan suatu kawasan (Sunda besar dan Sunda kecil), sedangkan di dalam prasasti dan naskah sejarah digunakan untuk menyebutkan batas budaya dan kerajaan di pulau Jawa bagian barat (Jawa Kulwon), bukan hanya terbatas didalam yuridiksi penerintahan Jawa Barat saat ini, didalam Catatan Bujangga Manik disebut “Tungtung Sunda”.

Dataran-Kepulauan Sunda

Bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan pada medio 1960 an, istilah Sunda masih ditemukan didalam mata ajar Ilmu Bumi, suatu istilah yang menunjukan gugusan kepulauan yang disebut Sunda Besar dan Sunda Kecil.

Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, terdiri atas pulau Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil adalah daerah yang terletak disebelah timur Pulau Jawa, sejak dari Bali disebelah barat hingga Pulau Timor di sebelah timur meliputi pulau-pulau Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, Roti dan lain-lain (Ekadjati – 1995).

Menurut R.W. van Bemmelen (1949), Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistim Gunung Sunda yang melingkar (circum Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7.000 km.

Pendapat diatas tentunya mendekati paradigma masyarakat dunia maya saat ini yang sedang mencari jejak Benua Antlantis, seperti Stephen Oppenheimer, seorang Profesor dari Universitas Oxford dan Arysio Santios, Profesor dari Brazil. Konon berdasarkan penemuan para ahli Amerika dan Jepang, yang mengacu pada ciri ciri kehidupan dan genetika manusianya, benua tersebut berada diwilayah yang saat ini disebut dataran Sunda. Persoalannya sekarang, mampukah kita menemukan jawaban atas pencarian tersebut, atau hanya ‘bakutet’ seperti “monyet ngagugulung kalapa ?”. Jika dikelak kemudian hari pertanyaan tersebut terjawabkan, tentunya akan mampu merubah peta kesejarahan dunia.

Didalam pelajaran Ilmu Bumi, dataran Sunda terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang lautan Pasifik bagian barat serta bagian selatan yang terbentang dari timur ke barat muali Maluku bagian selatan hingga lembah Brahmaputra di Assam (India). Dengan demikian bagian selatan dataran Sunda dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di timur terus kearah barat melalui pulau-pula di Kepulauan Sunda Kecil (The Lesser Sunda Islands), Jawa, Sumatera, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai ke Arakan Yoma di Birma.

Didalam Prasasti dan Naskah Kuna

Di bidang sejarah menurut Ekadjati (hal.2) : istilah Sunda yang menunjukan pengertian wilayah di bagian barat Pulau Jawa dengan segala akitivitas kehidupan manusia didalamnya, muncul untuk pertama kalinya pada abad ke-9 Masehi. Istilah tersebut tercatat dalam prasasti yang ditemukan di Kebon Kopi, Bogor beraksara Jawa Kuna dan berbahasa Melayu Kuna. Bahwa terjadi peristiwa untuk mengembalikan kekuasaan prahajian Sunda pada tahun 854 Masehi. Pada waktu itu sudah diketahui adanya suatu wilayah yang memiliki penguasa yang diberi nama Prahajian Sunda. Ada juga yang menyebutkan istilah ini telah dimuat dalam Prasasti Kabantenan. Prasasti tersebut menjelaskan tentang suatu daerah yang disebut Sundasembawa.

Data lain yang menyebutkan tentang istilah Sunda ditemukan pula, dengan penjelasan: “pemerintahan Suryawarman meninggalkan sebuah prasasti batu yang ditemjukan di kampung Pasir Muara (Cibungbulang) di tepi sawah kira-kira 1 kilometer dari prasasti telapak gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti ini berisi inskripsi sebanyak 4 baris. Bacaannya (menurut Bosch) ;

ini sabdakalanda juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsandeca barpulihkan haji su – nda. (Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat dalam [tahun Saka] 458 [bahwa] pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja Sunda”. (RPMSJB, Buku kedua, hal 24).

Suryawarman di dalam sejarah tatar Pasundan tercatat sebagai raja Tarumanagara ketujuh yang memerintah pada tahun 457 sampai dengan tahun 483 Saka bertepatan dengan tahun 536 sampai dengan tahun 561 masehi, sedangkan tahun 458 Saka bertepatan dengan 536 masehi atau abad ke enam masehi.

Sampai saat ini tidak kurang dari 20 buah jumlah prasasti yang ditemukan di wilayah Jawa Barat sekarang. Menurut waktunya dapat dikelompokan menjadi (1) prasasti Tarumanagara (2) Sunda (3) Rumantak (4) Kawali (5) Pakuan Pajajaran. Sedangkan nama-nama raja yang terulis dalam prasasti tersebut, adalah (1) Rajadiraja Guru (2) Purnawarman (3) Haji (raja) Sunda (4) Sri Jayabupati (5) Batari Hyang (6) Prabu Raja Wastu – Niskala Wastu Kencana (7) Ningrat Kencana (Dewa Niskala) dan (8) Prabu Guru Dewataprana (Sri Baduga Maharaja).

Kisah yang dimaksudkan Ekadjati tersebut sama dengan yang dimaksud Pleyte (1914), kisah berdirinya kerajaan Sunda terdapat dalam naskah Kuna dan berbahasa Sunda Kuna. Pendiri dari kerajaan Sunda adalah Terusbawa. Sedangkan eksistensinya ditemukan dalam naskah Nagarakretabhumi (sumber sekunder), yang menjelaskan Terusbawa memerintah pada tahun 591 sampai dengan 645 Saka, bertepatan dengan tahun 669/670 sampai dengan 723/724 Masehi. Sedangkan di dalam Pustaka Jawadwipa I sarga 3 mengisahkan, bahwa :

“Telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning rajya Taruma. Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwaprastawa saking Bharatanagari”. (Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama (kota) Sundapura. Nama ini berasal dari negeri India) [Ibid].

Generasi muda sekarang lebih memahami batas sunda bagian timur adalah Cirebon. Penafsiran demikian tidak dapat disalahkan, mengingat pada masa Belanda yuridiksi Propinsi Jawa Barat dibatasi hanya smapai Cirebon. Ekadjati dalam tulisannya tentang Sajarah Sunda mengemukakan, bahwa :

... Tanah Sunda perenahna di beulah kulon hiji pulo anu ayeuna jenenganana Pulo Jawa. Ku kituna eta wewengkon disebut oge Jawa Kulon. Ceuk urang Walanda mah West Java. Sacara formal istilah West Java digunakeun ti mimiti taun 1925, nalika pamarentah kolonial ngadegkeun pamarentah daerah anu statusna otonom sarta make ngaran Provincie West Java. Ti mimiti zaman Republik Indonesia (1945) eta ngaran propinsi anu make basa Walanda teh diganti ku basa Indonesia jadi Propinsi Jawa Barat’.

Wilayah Tarumanagara pada masa Purnawarman membawahi 46 kerajaan daerah. Jika dibentangkan dalam peta daerah tersebut meliputi jawa bagian barat (Banten hingga Kali Serayu dan Kali Brebes Jawa Tengah). Paska pemisahan Galuh secara praktis kerajaan Sunda terbagi dua, sebelah barat Sungai Citarum dikuasai Sunda (Terusbawa) dan sebelah Sungai Citarum bagian timur dikuasai Galuh (Wretikandayun). Penyatuan kembali Sunda dengan Galuh dimasa lalu terjadi beberapa kali, seperti pada masa Sanjaya, Manarah, Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja.

Untuk menyelusuri batas budaya, ada beberapa versi yang dapat diacu : Pertama, berdasarkan Naskah Bujangga Manik, yang mencatatkan perjalanannya pada abad ke-16, mengunjungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa dan Bali, naskah tersebut diakui sebagai naskah primer, saat ini disimpan di Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (kali Brebes) dan sungai Ciserayu (Kali Serayu) Jawa Tengah. Dalam catatan Bujangga Manik disebutkan dengan isitilah Tungtung Sunda, bahkan menurut Wangsakerta, : wilayah kerajaan Sunda mencakup beberapa daerah Lampung. Hal ini terjadi pasca pernikahan antara keluarga kerajaan Sunda dan Lampung. Hanya saja Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda. Disisi lainnya. Sunda memang tidak membentuk kerajaannya sebagai kerajaan Maritim.

Kedua, menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, yang kemudian dibukukan dalam suatu judul Summa Oriental, menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda : ada juga yang menegaskan, kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk

Kerajaan Sunda

Di dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (RPMSJB), uraian tentang kerajaan sunda nampaknya dibatasi sejak Maharaja Terusbawa sampai dengan Citraganda, atau sejak tahun 669 M sampai dengan tahun 1311 M. Hal ini dapat dipahami mengingat pembahasan kerajaan-kerajaan yang ada di tatar Sunda diuraikan tersendiri, seperti Sunda, Galuh, Kawali dan Pajajaran.

Pembahasan kesejarahan ini jauh lebih luas dibandingkan dengan paradigma masyarakat tradisional yang selalu mengaitkan Sunda dengan simbol-simbol Pajajaran, atau kerajaan Sunda terakhir. Jika budaya Sunda hanya dipahami hanya sebatas Pajajaran, dengan satu-satunya raja yang terkenal, yakni Prabu Silihwangi, maka masyarakat di tatar Sunda akan berpotensi untuk makin kehilangan jejak kesejarahannya. Masalahnya adalah, mampukah masyarakat Sunda merubah paradigmanya untuk melemparkan kemasa yang lebih jauh kebelakang melebihi jejak Pajajaran dan Siliwanginya ?.

Sebutan Sunda untuk nama kerajaan di Tatar Sunda yang mengambil dari garis keturunan Terusbawa agak kurang tepat jika dikaitkan dengan kesejarahan Sunda yang sebenarnya. Istilah Sunda sudah dikenal sebelum digunakan oleh Terusbawa, bahkan prasasti Pasir Muara yang menunjukan tahun 458 Saka (536 M) telah menyebutkan adanya raja Sunda. Secara logika sangat wajar jika ditafsirkan bahwa istilah Sunda sudah digunakan sebelum tahun tersebut, karena prasasti dimaksud tentunya tidak dibuat langsung bertepatan dengan istilah Sunda ditemukan. Dan prasasti tersebut tidak menandakan dimulainya entitas Sunda, namun hanya menerangkan, bahwa memang telah ada penguasa Sunda yang berkuasa pada waktu itu.

Istilah Tarumanagara dimungkinkan diterapkan untuk nama kerajaan Sunda yang berada di tepi kali Citarum. Menurut beberapa versi, istilah Sunda digunakan ketika Ibukota Tarumanagara dipindahkan ke wilayah Bogor. Jika saja ada kaitannya antara Tarumanagara dengan Salakanagara, kemungkinan besar istilah Sunda juga sudah digunakan untuk nama kerajaan daerah atau jejak budaya manusia yang ada di dataran Sunda.

Instilah Sunda (Sundapura) sebelumnya pernah digunakan oleh Purnawarman sebagai pusat pemerintahan. Tarumanagara berakhir pasca wafatnya Linggawarman (669 M). Terusbawa adalah menantu Linggawarman menikah dengan Dewi Manasih, putrinya. Tarusbawa dinobatkan dengan nama Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa. Dari sinilah para penulis sejarah Sunda pada umumnya mencatat dimulainya penggunaan nama kerajaan Sunda. (***)

Sumber Bacaan :

Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya – Bandung, Cetakan Kedua – 2005.

Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

Eden In The East (Surga di Timur), Stephen Oppenheimer, PT. Ufuk Publihishing House, Jakarta 2010

Atlantis The Lost Continent Finally Found, Aryo Santos, PT. Ufuk Publihishing House, Jakarta 2010

Sumber Artikel :

Gunung Sepuh

Sumber : http://www.waja.subhanagung.net/2012/02/asal-mula-istilah-sunda.html

Wednesday, August 8, 2012

Angan-angan Penduduk Neraka

Sabda Nabi Muhammad saw:
“Ketika penghuni neraka berkumpul, di antara mereka terdapat juga Ahli Kiblat, kaum muslim. Golongan kafir di neraka lalu mencerca Ahli Kiblat, ‘Bukankah kalian ini golongan orang muslim?’ Para Ahli Kiblat membenarkan, ‘Benar.’ Bertambahlah cercaan golongan kafir, ‘Lalu, manfaat apa kalian memeluk Islam bila akhirnya tinggal di neraka bersama kami?’ Kaum muslim menerangkan, ‘Kami berada di neraka ini sebab lakukan perbuatan dosa hingga mesti disiksa.’ Mendengar cercaan golongan kafir, Allah perintahkan malaikat segera bebaskan golongan mukmin dari neraka. Demi melihat orang-orang yang baru saja mereka hina telah dibebaskan, juga karena rasakan amat beratnya siksa neraka, golongan kafir lalu berandai-andai, ‘Aduh. Seandainya dahulu kami muslim, pasti saat ini kami juga dikeluarkan dari siksa pedih ini’.” Rasulullah saw lalu baca ayat Qur’an (yang artinya), “Ada saatnya orang-orang kafir berangan-angan seandainya mereka menjadi orang muslim.”
{Diriwayatkan dari Abi Sa’id bin Abi Burdah}

Dalam suatu riwayat, Rasulullah saw bersabda, “Sepanjang hari kiamat malaikat Jibril terbang beredar selama empat puluh ribu tahun. Dan pada suatu waktu ia dengar pekikan dari ceruk neraka, ‘Ya Hannan, ya Mannan, ya Dzal Jalaali wal Ikraam’. Jibril melesat ke Arsy lalu bersujud kepada Allah, ‘Ya Allah. Hamba dengar dari ceruk neraka ada seorang memekik menyeru Asma-Mu, ‘Ya Hannan, ya Mannan, ya Dzal Jalaali wal Ikraam’ selama puluhan ribu tahun. Tentu suaranya salah seorang umat Muhammad saw.

Engkau Maha Tahu, wahai Tuhanku, bagaimana persahabatanku dengan Muhammad saw. Sungguh aku ingin berbuat baik padanya. Kini umatnya ada yang menderita amat sangat di neraka, perkenankan hamba untuk syafa’ati umat Muhammad saw itu, ya Tuhan.’ Allah berbelas kasih, ‘Wahai Jibril. Aku izinkan kau syafa’ati umat Muhammad saw. Aku berkenan engkau temui malaikat Malik agar keluarkan umat-umat Muhammad saw yang mengendap di neraka dan menyerahkannya padamu.’ Malaikat Jibril cepat-cepat datangi malaikat Malik, ‘Sungguh Allah telah perintahkan agar si Fulan yang menyeru ‘ya Hannan’ engkau keluarkan dan serahkan padaku.’ Malaikat Malik lalu mencari-cari penghuni neraka yang serukan ‘Ya Hannan’. Pencarian malaikat Malik ke dalam neraka hingga seribu tahun lamanya, namun belum berhasil temukan si Fulan, sebab neraka sangat luas dan panas apinya telah lelehkan identitas penghuninya.

Malaikat Malik kabarkan kegagalan pencariannya kepada malaikat Jibril. Malaikat Jibril menghadap kembali dan bersujud di depan Arsy, ‘Ya Tuhanku. Malik tak mampu temukan si Fulan. Di manakah sebenarnya si Fulan berada?’ Allah Yang Maha Tahu memerincikan, ‘Wahai Jibril. Datangi Malik dan sampaikan, keberadaan si Fulan di ceruk neraka sebelah anu.’ Malaikat Jibril datangi malaikat Malik lagi dan tunjukkan keberadaan si Fulan sesuai petunjuk Allah. Malaikat Malik pun pergi ke tempat yang ditunjukkan dan temukan orang tersebut dalam keadaan terjungkir. Ular-ular berbisa dan kala beracun gelantungi tubuhnya. Ia dibelenggu, badannya telah hangus serupa arang namun masih hidup. Malaikat Malik menghela tubuhnya hingga binatang-binatang neraka mengelupas darinya. Helaan ke dua kalinya bebaskan si Fulan dari belenggu neraka. Si Fulan muram menatap malaikat Malik, ‘Apakah engkau akan tambah siksa untukku atau hendak selamatkan diriku?’ Kali ini malaikat Malik ramah, ’Aku juga tidak tahu. Hanya penghulu malaikat, malaikat Jibril, datang menjemputmu.” Malaikat Malik menggamit tangannya dan menyerahkannya kepada Malaikat Jibril. Sepanjang lorong setiap penghuni neraka menjadi saksi, ‘Orang ini mendekam di neraka selama empat puluh ribu tahun.’ Malaikat Jibril menghadapkan si Fulan di bawah Arsy. Si Fulan bersimpuh di sisi malaikat Jibril. Allah berfirman menyambut, ‘Wahai hamba-Ku. Apakah Aku belum mengirim al Qur’an dan mengutus rasul di dunia yang perintahkanmu berbuat kebajikan dan melarangmu berbuat mungkar?’ Hamba menunduk dalam-dalam, ‘Sudah ya Tuhanku.

Hamba benar-benar telah berbuat zalim pada diri sendiri. Hamba mengakui dosa-dosaku, ampuni daku demi kebenaran dan kemuliaan Asma-Mu, ya Hannan, ya Mannan, ya Dzal Jalaali wal Ikram yang hamba serukan selama empat ribu tahun di dalam neraka.’ Allah membelas kasihi hamba-nya, ‘Wahai hamba-Ku. Aku ampuni semua dosamu. Aku serahkan dirimu pada Jibril, serta Ku-bebaskan dirimu dari neraka atas syafa’at-nya Jibril.’ Malaikat Jibril lalu gandeng tangan si Fulan menuju surga. Di sana si Fulan dimandikan dengan air telaga Kautsar. Begitu mandi dengan air itu, hilanglah bekas tanda-tanda penghuni neraka.

Sesudahnya, malaikat Jibril bawa si Fulan masuk ke dalam surga untuk dipertemukan padaku, Rasulullah saw. Malaikat Jibril ucapkan salam dan kabarkan, “Ya Muhammad saw. Aku telah lakukan kebajikan, beri syafa’at, sebagaimana engkau pasti lakukan terhadap orang lain.’ Aku, Rasulullah saw, mengangguk, ‘Benar ya Jibril. Terima kasih atas kebajikanmu memberi syafa’at umatku’.

sumber : http://www.lidahwali.com/index.php?option=com_content&task=view&id=161&Itemid=188

Thursday, August 2, 2012

Kebenaran Nama "Ahmad" Nama Nabi Muhammad SAW Dalam Al-Kitab

Jujur saja saya sudah kurang lebih 2 tahun mencari-cari informasi tentan kebenaran nama "AHMAD" dalam Kitab INJIL (ALKITAB).Awal ketertarikan saya untuk mencari informasi ini berawal dari cerita ibu saya mengenai seorang pendeta yang berhasil mempelajari INJIL asli di suatu museum di suatu negara yang saya lupa di negara mana, awalnya saya kurang percaya dengan cerita tersebut karna saya tidak melihat bukti otentik maupun data-data penelitian tersebut. Akhirnya dari situ saya mulai mencari informasi-informasi mengenai kebenaran nama "ahmad" dalam alkitab.

Thursday, July 12, 2012

Ini Yang Terjadi dengan Tubuh Kita Selama Berpuasa

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Tak perlu takut kehabisan tenaga saat berpuasa, sehingga Anda memilih untuk bermalas-malasan dan mengurangi aktivitas fisik dari biasanya. Selama berpuasa, tubuh Anda menghasilkan energi sendiri dengan membakar sumber daya yang disimpan oleh tubuh. Simpanan ini terbuat dari kelebihan lemak, karbohidrat, dan gula untuk menghasilkan energi.

Hati adalah organ yang paling signifikan dalam proses ini, mengubah lemak menjadi zat kimia yang disebut keton tubuh berupa tiga senyawa larut dalam air yang kemudian digunakan sebagai sumber energi.

Tuesday, July 10, 2012

Mereka serasa tertidur satu hari didalam gua, namun zaman ternyata telah berganti selama 309 tahun

Para Ashabul Kahfi hidup melintasi zaman. Mereka serasa tertidur satu hari didalam gua, namun zaman ternyata telah berganti selama 309 tahun (pendapat lain menyatakan 350 tahun).

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِئَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعاً

“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS 18:25)

Bagaimana bisa?

Hal ini bisa dibuktikan dengan analisis melalui fisika modern, yaitu teori relativitas Einstein.

“Jika suatu benda, makhluk hidup atau apa saja yang bergerak dengan kecepatan tertentu (mendekati kecepatan cahaya), maka benda tersebut akan mengalami dilatasi waktu dan kontraksi panjang.”

Friday, June 1, 2012

Simbol Dajjal Jadi Maskot Olimpiade London 2012

Simbol-simbol Dajjal yang berkaitan dengan Zionis Yahudi seperti mata satu bermunculan di mana-mana dari mulai uang 1 dolar AS hingga pernah menjadi cover album sebuah band di Indonesia.

Seperti dilansir republika, sangat mencengangkan, ternyata simbol mata satu juga digunakan dalam olimpiade London 2012, bukankah simbol mata satu adalah simbol Dajjal?

Olimpiade London 2012 akan digelar di London, Inggris, Britania Raya pada 27 Juli sampai 12 Agustus 2012. Menurut Wikipedia, London akan menjadi kota pertama yang secara resmi mengadakan Olimpiade modern sebanyak tiga kali. Dua olimpiade sebelumnya telah digelar di London pada 1908 dan 1948.

Setiap pesta olahraga multieven pasti memiliki maskot. Olimpiade London 2012 menampilkan sosok Wenlock dan Mandeville sebagai maskot pesta olahraga terakbar tahun 2012 ini. Wenlock dan Mandeville adalah animasi yang menampilkan dua tetes baja dari industri baja di Bolton.

Wenlock diambil dari nama kota Much Wenlock di Shropshire. Sedangkan Mandeville diambil dari nama Stoke Mandeville, sebuah desa di Buckinghamshire tempat pendahulu Paralimpiade diadakan.

Yang mengejutkan, kedua maskot olimpiade London 2012 itu hanya memiliki satu mata besar. Bukankah itu simbol dajjal? Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, ''Aku memperingatkan kalian untuk melawannya (Dajjal) dan tidak ada Nabi yang memperingatkan umatnya untuk melawan. Tapi aku akan mengatakan sesuatu yang belum pernah diungkapkan oleh nabi sebelumku. Kalian harus tahu bahwa ia (dajjal) bermata satu...'

Dalam hadis lainnya disebutkan, Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA bahwasannya Rasulullah menyebutkan Dajjal di tengah-tengah manusia seraya berkata: ''Sesungguhnya Allah ta'ala tidak Buta. Ketauhilah bahwa al-Masih ad Dajjal buta sebelah kanannya. Seakan-akan sebuah anggur yang busuk.'' (HR. Bukhari)

Hampir semua kebudayaan sudah meramalkan kedatangan Dajjal. Simbol mata satu (All-Seeing Eye) alias Dajjal sudah ada sejak ribuan tahun lalu.contohnya Simbol RA yang terdapat dalam artefak Mesir Kuno. Sejak abad pertengahan, mata satu kini terserap dalam simbol-simbol Freemasonry (Perkumpulan Rahasia) yang digunakan dalam ritual mereka. Bahkan, kini simbol mata satu digunakan dalam berbagai hal, termasuk Maskot Olimpiade London ini.

Sumber : http://www.satumedia.info/2012/04/simbol-dajjal-jadi-maskot-olimpiade.html

Thursday, April 26, 2012

HIKMAH MEMBACA BISMILLAH & TAKBIR KETIKA MENYEMBELIH

Sebuah tim dari para peneliti senior dan Profesor universitas di negeri Suriah sampai pada suatu penemuan ilmiah yang menunjukkan bahwa ada perbedaan besar dalam hal perkembangbiakan mikroba antara daging yang dibacakan takbir ketika disembelih dengan daging yang tidak dibacakan.

Tim medis yang terdiri dari 30 Profesor spesialis di berbagai bidang yang berbeda dalam ilmu kedokteran laboratorium, bakteri, virus, dan ilmu pengetahuan gizi dan kesehatan daging dan patologi anatomi, kesehatan hewan dan penyakit pada sistem pencernaan melakukan penelitian biologi dan anatomi selama tiga tahun. Penelitian itu untuk mempelajari perbedaan antara sembelihan yang dibacakan nama Allah (Bismillah) dan membandingkannya dengan sembelihan yang disembelih dengan cara yang sama, akan tetapi tanpa menyebut nama Allah (Bismillah) .

Dan penelitian tersebut telah menunjukkan pentingnya dan perlunya menyebutkan nama Allah (Bismillahi Allahu Akbar) ketika menyembelih binatang ternak dan burung. Dan hasil penelitian itu sungguh mengejutkan dan mengherankan dan yang digambarkan oleh anggota tim medis sebagai sebuah Mukjizat (keajaiban) yang tidak bisa digambarkan dan dikhayalkan. Penanggung jawab Humas dari penelitian ini yaitu Dr.Khalid Halawah berkata bahwa uji coba laboratorium membuktikan bahwa serat daging yang disembelih tanpa Bismillah dan Takbir selama tes uji serat dan perkembangbiakan bakteri ini penuh dengan kuman dan darah yang tertahan dalam daging, sementara daging yang disembelih dengan Bismillah dan Takbir benar-benar bebas dari bakteri dan steril tidak mengandung darah yang tersisa/tertahan.

Dan Halawah mendeskripsikan dalam pembicaraannya kepada kantor berita Kuwait (KUNA) bahwa penemuan ini merupakan revolusi ilmiah besar di bidang kesehatan manusia dan keselamatannya yang terkait dengan kesehatan apa uang dia konsumsi berupa daging binatang ternak. Dan yang telah terbukti dengan secara pasti bahwa daging tersebut bersih dan steril dari kuman dengan membacakan Bismillah dan Takbir ketika menyembelihnuya.

Sementara itu, kata peneliti Abdul Qadir al-Dirani bahwa ketidaktahuan orang-orang di zaman kita terhadap Hikmah yang tersembunyi di balik penyebutan Bismillah ketika menyembelih menyebabkan manusia mengabaikan dan enggan untuk menyebutkanBismillah dan Takbir ketika melakukan penyembelihan binatang ternak dan burung. Dia berkata:"Yang mendorong saya untuk mempersembahkan tema/pembahasan ini dalam gaya bahasa akademi yang ilmiah, yang membangun arti penting dan keseriusan persoalan ini masyarakat, adalah berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Profesor Muhammad Amin Syaikhu dalam kajian beliau tentang al-Quran dan apa yang beliau sampaikan dan kami dengar bahwa daging sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah (Bismillah) maka di dalamnya ada darah yang tersisa/tertahan serta tidak terbebas dari bakteri dan kuman.”

Dia menyebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan manusia untuk membaca Bismillah ketika menyembelih binatang, Dia Yang Mahakuasa berfirman dalam Surat al-Anam:

"فكلوا مما ذكر اسم الله عليه ان كنتم باياته مؤمنين " (ايه 118)

" Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya.” (QS. Al-An’aam: 118)

Dia Yang Mahamulia berfirman:

"ولا تأكلوا مما لم يذكر اسم الله عليه وانه لفسق "

" Dan janganlah kamu mamakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan…“ (QS. Al-An’aam: 121)

Dia juga berfirman:

وأنعام لايذكرون اسم الله عليها افتراء عليه" (ايه 138)

" Dan binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah. …“ (QS. Al-An’aam: 138)

(Sumber: Diterjemahkan dengan perubahan dari ” هل تعلمون لماذا نقول بسم الله والله اكبر على الذبائح؟ dari http://ejabat.google.com/ejabat/thread?tid=3c5628e170f34831 oleh Abu Yusuf Sujono)