Friday, March 22, 2013

Benarkah Sunda Pajajaran Adalah Kerajaan Hindu?

Pajajaran, sebuah kerajaan yang pernah eksis di tatar Sunda, dikenal oleh khalayak sebagai kerajaan Hindu. Bila merujuk pada buku-buku pelajaran Sejarah yang digunakan di sekolah maupun instansi pendidikan umumnya, maka Pajajaran akan diletakkan dalam kategori kerajaan Hindu-Budha yang pernah berjaya di bumi nusantara. Mungkin tidak terpikir oleh kita bahwa sejarah resmi yang diyakini oleh mainstream masyarakat tersebut sebenarnya masih menjadi perdebatan hingga kini.
Sebagian masyarakat Sunda yang menganut agama Sunda Wiwitan (agama asli Sunda) justru meyakini bahwa agama yang dianut oleh masyarakat Sunda Pajajaran maupun Galuh (kerajaan yang ada sebelum Pajajaran muncul) adalah agama Sunda Wiwitan, bukan agama Hindu. Beberapa sejarawan dan budayawan Sunda pun berpendapat sama, yakni ada kesalahan interpretasi sejarah dengan menyebut Pajajaran sebagai kerajaan Hindu. Pendapat yang tentunya disertai argumentasi rasional dan dapat dipertanggung jawabkan.
Pajajaran dan Agama Sunda
Sumber-sumber sejarah yang penulis ketahui memang menunjukkan adanya kepercayaan asli Sunda yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat Sunda pra maupun pasca Pajajaran terbentuk.[1] Naskah Carita Parahyangan, misalnya, mendeskripsikan adanya kaum pendeta Sunda yang menganut agama asli Sunda (nu ngawakan Jati Sunda). Mereka juga disebut mempunyai semacam tempat suci yang bernama kabuyutan parahyangan, suatu hal yang tidak dikenal dalam agama Hindu.
Naskah Carita Parahyangan juga menceritakan mengenai kepercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh adalah sewabakti ring batara upati dan berorientasi kepada kepercayaan asli Sunda.[2] Selain naskah Carita Parahyangan, keberadaan agama asli Sunda pada masa lampau juga diperkuat oleh karya sastra Pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng episode “Curug Si Pada Weruh.” Dalam pantun tersebut diberitakan begini:
Saacan urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh, karuhun urang mah geus baroga agama, anu disarebut agama Sunda tea..”
Artinya : “Sebelum orang Hindi (Hindu-India) bertahta di Kadu Hejo pun, leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama Sunda.”
Yang dimaksud dengan “urang Hindi” dalam pantun tersebut adalah orang Hindu dari India yang kemudian bertahta di tanah Sunda (Kadu Hejo). Bila kita menelusuri sejarah Sunda hingga masa ratusan tahun sebelum Kerajaan Sunda-Galuh ataupun Pajajaran berdiri, maka akan dijumpai Kerajaan pertama di tatar Sunda yang bernama Salakanagara. Kerajaan inilah yang dimaksud dengan Kadu Hejo dalam pantun Bogor tersebut. Naskah Wangsakerta mencatat kerajaan ini sebagai kota tertua di Pulau Jawa, bahkan di Nusantara.
Konon, kota yang kemudian berkembang menjadi pusat kerajaan ini terletak di daerah Pandeglang, Banten. Kerajaan Salakanagara yang pusat pemerintahannya terletak di Rajatapura telah ada sejak abad 2 Masehi. Aki Tirem merupakan penguasa pertama daerah ini. Penguasa Salakanagara berikutnya adalah Dewawarman, imigran sekaligus pedagang dari India yang kemudian menjadi menantu Aki Tirem.[3] Dewawarman inilah yang dimaksud sebagai “urang Hindi” oleh Pantun Aki Buyut Baju Rambeng. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebelum kedatangan Dewawarman dan rombongannya ke Salakanagara, penduduk Rajatapura telah memiliki agama sendiri, yakni agama Sunda. Dewawarman sendiri bertahta di Salakanagara dari tahun 130-168 M. Sedangkan dinastinya tetap berkuasa hingga akhirnya pusat kekuasaan dipindahkan ke Tarumanagara pada tahun 362 M oleh Jayasingawarman, keturunan ke-10 Dewawarman.[4]
Masih menurut naskah Pustaka Wangsakerta, agama Sunda pada masa Sunda kuno memiliki kitab suci yang menjadi pedoman umatnya, yaitu Sambawa, Sambada dan Winasa. Hal terpenting yang perlu diingat adalah bahwa ketiga kitab suci tersebut baru ditulis pada masa pemerintahan Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu, yang berkuasa di tatar Sunda pada periode 1175-1297 M.[5] Menarik untuk disimak, bahwa agama Sunda yang telah berumur sekitar 1000 tahun atau 1 Milenium, baru mempunyai kitab suci tertulis pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Wisnu. Penulis berasumsi, mungkin selama era sebelum Prabu Sanghyang Wisnu berkuasa, kehidupan beragama di tanah Sunda belum mendapat perhatian yang serius dari penguasa kerajaan. Setelah masa Prabu Sanghyang Wisnu pulalah agama Sunda menjadi agama resmi kerajaan.
Beberapa bukti sejarah itu menunjukkan keberadaan agama Sunda asli atau Sunda Wiwitan sebagai sebuah agama yang dianut oleh masyarakat maupun penguasa Sunda kuno adalah fakta tak terbantahkan. Lalu bagaimanakah kedudukan agama Hindu di era Sunda kuno atau Sunda Pajajaran? Bukankah cikal bakal kerajaan Sunda kuno berasal dari orang-orang India yang notabene beragama Hindu? Bagaimana pula perbedaan mendasar antara agama Hindu dan agama Sunda Wiwitan?
Perbedaan Hindu dan Sunda Wiwitan
Konsepsi teologis Sunda Wiwitan berbasiskan pada faham Monoteisme atau percaya akan adanya satu Tuhan yang dikenal sebagai Sanghyang Keresa atau biasa juga disebut Batara Tunggal. Dalam menjalankan “tugasnya” mengatur semesta alam, Sanghyang Keresa dibantu oleh para Sang Hyang lainnya seperti Sanghyang Guru Bumi, Sanghyang Kala, Sanghyang Ambu Jati, Sunan Ambu, dan lainnya.
Agama Sunda Wiwitan juga mengenal klasifikasi semesta alam menjadi tiga bagian, yakni Buana Nyungcung (tempat bersemayamnya Sanghyang Keresa), Buana Panca Tengah (tempat hidup manusia dan mahluk hidupnya) dan Buana Larang (neraka). Selain itu, dalam ajaran Sunda Wiwitan juga dikenal adanya proses kehidupan manusia yang harus melalui sembilan mandala di dunia fana dan alam baka. Kesembilan mandala yang harus dilalui manusia tersebut adalah (secara vertikal): Mandala Kasungka, Mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Seba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar dan Mandala Agung.
Bila kita merujuk pada ajaran Hindu, akan ditemukan perbedaan mendasar dengan ajaran agama Sunda terutama menyangkut konsep teologis. Hindu merupakan agama yang memiliki karakteristik Politeisme atau meyakini adanya lebih dari satu Tuhan atau Dewa. Dalam agama Hindu dikenal banyak dewa, diantaranya tiga dewa yang paling utama (Trimurti) yakni dewa Wisnu (pelindung), Brahma (pencipta) dan Siwa (perusak). Tidak dikenal istilah Sanghyang Keresa dalam ajaran Hindu.
Perbedaan lainnya adalah mengenai sarana peribadatan dari kedua agama. Pada era Sunda Pajajaran, agama Sunda Wiwitan mengenal beberapa tempat suci yang juga dijadikan sarana peribadatan seperti Balay Pamunjungan, Babalayan Pamujan serta Saung Sajen. Hampir semua tempat ibadah tersebut berbentuk punden berundak yang terdiri dari kumpulan batu-batu besar dan arca.[6] Sementara pada masa kejayaan Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sarana peribadatan yang banyak didirikan justru candi yang hingga kini masih dapat kita temui peninggalannya. Bahkan candi juga terkait dengan simbol kekuasaan penguasa tertentu.
Sedangkan budaya keberagamaan masyarakat Sunda yang menganut Sunda Wiwitan pada masa Sunda kuno sungguh berbeda. Mereka tidak mendirikan candi untuk beribadah, melainkan memusatkan kegiatan keagamaannya pada beberapa punden berundak yang dikenal sebagai kabuyutan. Di punden berundak inilah ritual atau prosesi keagamaan khas Sunda Wiwitan dilakukan oleh masyarakat Sunda. Beberapa peninggalan tempat ibadah era Pajajaran yang masih dapat kita temukan kini adalah kabuyutan Sindang Barang (kini menjadi kampung budaya Sindang Barang, Bogor) dan Mandala Parakan Jati di kaki Gunung Salak.
Hal inilah yang juga dapat menjawab pertanyaan sebagian orang mengenai “kelangkaan” candi di tatar Sunda. Fakta sejarah memperlihatkan bahwa masyarakat penganut Sunda Wiwitan memang tidak membutuhkan candi sebagai sarana peribadatan, melainkan kabuyutan yang masih kental tradisi megalitiknya. Jadi sedikitnya candi di tanah Sunda bukan karena “kemiskinan” peradaban Sunda di masa lampau, melainkan kondisi sosio-religiusnya yang berbeda dengan masyarakat Jawa-Hindu.
Bukti lainnya yang juga menunjukkan kelemahan klaim sejarah yang berhubungan dengan ke-Hindu-an kerajaan Sunda Pajajaran adalah tidak ditemukannya stratifikasi sosial khas masyarakat Hindu atau kasta pada masyarakat Sunda Kuno. Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian serta sumber-sumber sejarah lainnya tidak menunjukkan adanya strata sosial yang didalamnya terdapat kasta Waisya, brahmana atau Sudra sebagaimana masyarakat Hindu di Jawa dan Bali. Disamping itu, tidak ditemukan pula konsep raja adalah titisan Tuhan atau Dewa (God-King) pada sistem pemerintahan Sunda Pajajaran atau Galuh sebagaimana dijumpai dalam sistem kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Timur.
Tidak tertutup kemungkinan memang, terjadi akulturasi antara agama Sunda Wiwitan dengan agama Hindu, mengingat leluhur keluarga kerajaan Sunda kuno sebagian berasal dari India. Namun akulturasi tersebut tidak terjadi dalam aspek sistem nilai. Bila merujuk pada konsep kebudayaan menurut Koentjaraningrat, terdapat tiga jenis budaya dalam satu unsur kebudayaan, yakni sistem nilai, perilaku dan kebendaan (artefak). Akulturasi dalam kasus ini hanya terjadi dalam aspek kebendaan dan perilaku, itupun tidak seluruhnya. Hal ini dapat terlihat dari nama-nama raja dan beberapa istilah dalam agama Sunda Wiwitan seperti Batara dan Resi. Namun untuk substansi ajaran, tidak tampak adanya akulturasi yang menjurus pada sinkretisme.
Sunda Wiwitan di Masa Kini
Sudah jelaslah kini bila kategorisasi kerajaan Sunda Pajajaran ataupun Galuh sebagai kerajaan Hindu merupakah hal yang perlu dikoreksi. Bukti-bukti sejarah justru menunjukkan bahwa masyarakat Sunda kuno telah menganut suatu agama lokal yang mapan dan relatif mandiri dari pengaruh teologis Hindu-Budha, yakni agama Sunda Wiwitan.
Pada masa kini, Sunda Wiwitan masih dianut oleh sebagian etnis Sunda terutama kalangan suku Baduy di desa Kanekes, Banten. Selain  itu, penganut Sunda Wiwitan juga terdapat di Ciparay Bandung (terkenal dengan nama aliran Perjalanan Budi Daya), Cigugur Kuningan (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang), dan kampung adat Cireundeu Cimahi. Masing-masing komunitas memiliki penjabaran dan karakteristik ajarannya sendiri namun tetap berbasiskan inti ajaran agama yang sama, Sunda Wiwitan.
Namun nasib mereka tidak seberuntung penganut agama lainnya di negeri ini, karena agama Sunda Wiwitan bukanlah agama yang secara resmi diakui keberadaannya oleh negara.[7] Akibatnya berbagai perlakuan diskriminatif dari aparatur negara kerap mereka terima, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Alangkah lucunya negeri ini, ketika kekuasaan politik berhak menentukan mana yang termasuk kriteria agama dan mana yang bukan. Yang pasti diskriminasi terhadap penganut Sunda Wiwitan masih terus langgeng hingga detik ini. Jangan-jangan, penulisan buku sejarah resmi yang masih memasukkan Pajajaran sebagai kerajaan Hindu juga bernuansa diskriminatif, yang orientasinya ingin menghapukan jejak kebudayaan Sunda Wiwitan dalam sejarah? Wallahualam
HISKI DARMAYANA, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan alumni Antropologi FISIP Universitas Padjajaran.


[1] Nama Pajajaran sendiri resmi digunakan pada masa pemerintahan Prabu Jayadewata (1482-1521), yang juga bergelar Prabu Siliwangi dan Sri Baduga Maharaja. Pusat pemerintahannya terletak di Pakuan, daerah Batutulis Bogor sekarang. Sementara sebelum nama Pajajaran muncul, kerajaan yang ada di tatar Sunda dikenal dengan nama Sunda-Galuh, yang berdiri  sejak runtuhnya Tarumanagara dan berkuasanya Tarusbawa di tahun 669 M.
[2] Hal ini pernah dipublikasikan dalam tulisan Antropolog Nanang Saptono yang berjudul Di Jateng Ada Candi, Di Jabar Ada Kabuyutan. Tulisan beliau pernah dimuat di harian Kompas edisi 3 September 2001.
[3] Sejarah Salakanagara atau Rajatapura diuraikan secara rinci dalam naskah Wangsakerta Cirebon, Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara.
[4] Jayasingawarman juga merupakan pendiri kerajaan Tarumanagara yang berkuasa hingga tahun 382 M.
[5] Dalam beberapa cerita Pantun, beliau  dijuluki Prabu  Resi Wisnu Brata. Julukan ini diberikan karena beliaulah raja Sunda yang gencar menyiarkan agama Sunda di kalangan penduduk Sunda dan yang pertama kali membuat kitab suci Sunda dalam bentuk tertulis.
[6] Ulasan tentang sarana ibadah agama Sunda Wiwitan pada masa Pajajaran terdapat dalam tulisan budayawan Sunda, Anis Djatisunda yang berjudul Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuno Menurut Berita Pantun & Babad.
[7] Melalui UU No.1/1965 beserta aturan turunannya, Negara hanya mengakui 6 agama yang berhak hidup di Indonesia, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu ,Budha dan KongHuChu.

Tuesday, December 4, 2012

Menjawab Misteri Langkanya Candi di Tatar Sunda

Salah satu misteri dalam sejarah Jawa Barat selama ini adalah kelangkaan bangunan-bangunan candi peninggalan kerajaan-kerajaan masa lampau. Walau ditemukan beberapa, tapi sangat sedikit dan tak sebanding dengan yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Padahal, di Jawa Barat terdapat kerajaan-kerajaan besar Sunda pra-Islam: Tarumanegara kemudian Pajajaran yang pusatnya terdapat di tiga kota: Pakuan, Galuh, dan Sumedang. Jawaban yang sudah mengemuka selama ini ada dua: Pertama, alasan sosiologis-agrikultural yaitu mata pencaharian utama penduduk Sunda yang ngahuma (berladang) kemudian bersawah. Ciri masyarakat ladang adalah tradisi nomaden yaitu selalu berpindah tempat untuk mencari lahan yang subur. Kebiasaan ini berpengaruh pada tempat tinggal orang Sunda yang tidak memerlukan bangunan permanen yang kokoh seperti candi. Kedua, alasan Islamisasi. Islamisasi di Sunda cenderung lebih intensif dibanding dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Proses Islamisasi yang lebih intensif berpengaruh pada militansi beragama orang Sunda. Karena keislamannya yang kuat, masyarakat Sunda yang sudah masuk Islam diduga “menghancurkan” bangunan candi-candi sebagai peninggalan agama Hindu Budha dan tempat pemujaan yang bertentangan dengan keyakinan yang diajarkan Islam. Hingga saat ini kedua asumsi tersebut belum didukung oleh bukti-bukti sejarah. Tulisan pendek ini akan menjawab pertanyaan di atas melalui tiga argumen: monoteisme orang Sunda, tradisi egalitarian masyarakat dan tradisi kekuasaan Sunda pra-Islam.

Monoteisme Orang Sunda Lama
Dari berita sejarah yang ada dan dari hasil penelitian arkeologi terkini, kawasan Sunda adalah daerah yang pertama mengalami apa yang disebut Goerge Coédes sebagai “Indianized states.” Kerajaan Hindu tertua itu berada di Sunda yaitu Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-4 M yang masa puncak kejayaannya terjadi pada masa Raja Purnawarman (394 – 434). Aktifitas politik pemerintahan dengan rangkaian kegiatan birokratisnya telah berjalan sejak awal-awal abad masehi. Hal ini menunjukan bahwa orang-orang Sunda adalah masyarakat pertama di Nusantara yang telah mengerti dan menggunakan mekanisme birokrasi dalam mengatur hubungan penguasa-rakyat dan hubungan sosial antara masyarakatnya.

Pengaruh Hindu dan Budha yang datang dari India setelah mengalami proses sinkretisasi dengan agama lokal (animisme dan dinamisme) mulai diterima oleh kalangan elit politik kerajaan. Stratifikasi sosial yang kastaistis telah memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri bagi para aristokrat kerajaan, sementara masyarakat lapisan luar kerajaan masih menggunakan keyakinan lama yang menyembah hyang yang oleh Fa-Hien disebut sebagai “agama yang buruk” seperti tertuang dalam laporan berita Cina. Ungkapan “agama yang buruk” oleh Fa-Hien ini merupakan ungkapan yang biasa diucapkan oleh orang yang taat pada suatu agama terhadap orang yang beragama lain.

Dalam konsepsi teologis orang Sunda pra Hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat lainnya. Hyang mengusai seluruh roh-roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. Pada masa masuknya pengaruh Hindu, konsep ke-esa-an hyang terpelihara karena semua dewa Hindu tunduk dan takluk pada hyang ini, kekuatannya dianggap melebihi dewa-dewa Hindu yang datang kemudian. Dengan kata lain, orang-orang Sunda pra Hindu-Budha sudah menganut faham monoteistis dimana hyang dihayati sebagai maha pencipta dan penguasa tunggal di alam raya. Konsepsi ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu Allah, ketika muncul proses Islamisasi di Nusantara. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus menyembah Hyang (Yang Tunggal) sama dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa dalam agama Islam.

Ketika pengaruh Hindu masuk ke masyarakat Sunda lama, ajaran Hindu mempengaruhi keyakinan lokal masyarakat yang sudah mapan. Kedua keyakinan teologis ini kemudian mengalami proses sinkretisasi. Ini tergambar dalam hirarki kepatuhan yang terdapat pada Naskah Siksakandang Karesian yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan) yang isinya sebagai berikut : “Anak satia babakti ka bapa; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka mantri; mantri satia babakti kanu manganan (komandan); nu manganan satia babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja satia babakti ka dewata; dewata satia babakti ka hyang.” Konsep hyang adalah yang tertinggi dan paling berkuasa. Sistem keyakinan ini sudah hidup pada orang Sunda jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu dan Budha pada awal masehi.

Tradisi sesembahan orang Sunda pra Hindu-Budha tidak terpusat di candi tapi menyembah hyang di kahiyangan. Konsep kahiyangan sangat abstrak alias tidak mengacu pada tempat fisik dan bangunan. Kahiyangan merupakan tempat para dewa bersemayam (ibarat ‘Arsy-nya Allah dalam Islam) mulai dari para dewa lokapala (pelindung dunia) sampai pwah sanghyang sri (dewi padi), pwah naga nagini (dewi bumi) dan pwah soma adi (dewi bulan) yang menghuni jungjunan bwana (puncak dunia). Tradisi orang Sunda menyembah hyang adalah salah satu alasan yang menjelaskan kelangkaan candi di Tatar Sunda Priangan. Kuatnya kepercayaan Sunda lama terhadap hyang yang monoteistik tidak mendorong orang Sunda untuk membangun candi sebagai pusat peribadatan sebagai mana di Jawa Tengah dan Timur. Satu dua candi kecil yang ditemukan di Jawa Barat, ketimbang menunjukkan kuatnya pengaruh agama Hindu-Budha, tampaknya dibangun lebih sebagai simbol kekuasaan bahwa disitu pernah ada penguasa kecil, keturunan dari Kerajaan Sunda. Agama Sunda Wiwitan di Kanekes Banten yang mengenal adanya Allah dan Nabi Adam tapi tidak mengenal syari’at Islam memperkuat adanya persambungan konsep monoteisme orang Sunda lama yang terpengaruh Islam.

Tradisi Egaliter Orang Sunda
Pengaruh ajaran Hindu-Budha yang masuk ke pulau Jawa nampaknya kurang begitu kuat meresap pada masyarakat Sunda karena masyarakat Sunda sudah terikat kuat dalam menganut keyakinan aslinya yang bercorak monoteistis yaitu mengabdi pada hyang tungga seperti dijelaskan di atas. Bukti kuat pernyataan ini adalah bahwa hingga saat ini bukti-bukti arkeologis yang mendukung kuatnya pengaruh Hindu-Budha sangat sedikit ditemukan di Jawa Barat. Sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur, banyaknya peninggalan bangunan dan monumen sakral yang bercorak Hindu dan Budha merupakan bukti sosialisasi Hindu dan Budha yang sangat intensif, baik yang dilakukan oleh kalangan keraton maupun rakyatnya.

Kuatnya penyebaran agama Hindu-Budha di masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur diantaranya disebabkan konsep god-kings (dewa-raja) yang sesuai dengan tradisi berfikir masyarakat Jawa ketika itu. Bagi masyarakat Jawa, raja dihayati sebagai panutan mutlak karena dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Gelar para raja adalah gabungan dari dua otoritas yaitu otoritas politik (raja) dan otoritas religius (dewa) yang tergabung dalam istilah-itilah seperti rajaresi, khalifatullah fil ‘ardhi sayidin panatagama dan lain-lain. Di sisi lain, kepatuhan mutlak kepada raja juga merupakan ajaran Hindu seperti terlihat dari sistem kasta dan klasifikasi sosial yang sangat ketat. Ini dibuktikan oleh perbedaan status sosial yang feodalistik dalam stratifikasi masyarakat Jawa antara kelas ningrat atau priyayi dan wong cilik. Penghayatan raja sebagai titisan dewa dan adanya kelas sosial yang tajam ini berakibat pada tiadanya perbedaan pendapat antara raja dengan rakyatnya, termasuk dalam persoalan agama. Keraton dalam kebudayaan Jawa adalah pemegang otoritas kebenaran yang berfungsi sentral baik dalam agama, politik dan kebudayaan.

Pada masyarakat Sunda, pola seperti ini tidak ditemukan. Corak budaya yang berkembang adalah kebudayaan rakyat dimana posisi keraton tidak terlalu menentukan pembentukan stratifikasi kelas dan variasi budaya. Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Sunda didominasi oleh kebudayaan agraris dengan berbagai keunikannya. Bila kebudayaan Jawa adalah kebudayaan feodal yang hirarkis, kebudayaan Sunda adalah kebudayaan rakyat yang egaliter yang mencerminkan kesamaan derajat antar manusia. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang demokratis. Ngaing, sia, déwék, dia, kula dsb adalah bahasa komunikasi egaliter sehari-hari antara kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat Sunda lama (buhun). Dan, seperti diketahui, Sunda mengenal feodalisme setelah masuknya pengaruh Mataram selama tiga abad yang diantara peninggalannya sekarang adalah undak-usuk basa Sunda nu ngalieurkan tersebut.

Bukti lain yang mempertegas adalah seni pewayangan. Pada masyarakat Jawa, lakon cerita wayang merupakan sumber ilham dalam memahami fungsi-fungsi sosial mereka dalam hidup berbangsa dan berbudaya. Epos Mahabarata dan Ramayana menjadi sumber pendidikan etika yang menghasilkan perilaku-perilaku yang kastaistis seperti kemunculan kelas ningrat dan wong cilik. Pada masyarakat Sunda, seni pewayangan lebih merupakan media hiburan pelepas lelah dalam aktifitas agrarisnya sehari-hari. Orang Sunda tidak menjadikan lakon cerita wayang sebagai sabda suci yang mesti diteladani. Mereka telah memiliki etika agraris yang sangat kuat yang tidak bisa digantikan oleh etika Hindu-Budha seperti yang ditunjukkan dalam pewayangan Jawa yang sangat rumit dengan nilai-nilai filosofisnya. Sifat rumit, abstrak dan filosofis pewayangan Jawa sudah banyak diungkap oleh banyak peneliti seperti Donald K. Emmerson, Ben Anderson, Karl D. Jackson, Clifford Geertz, Soemarsaid Moertono, Selo Seomarjan, Fachry Ali dll. Egalitarianisme masyarakat agraris dan kepercayaan monoteistik orang Sunda yang sudah lama berakar kuat justru menjadi bekal penerimaan orang Sunda terhadap ajaran agama baru yang sesuai dengan kultur, tradisi dan kepercayaan mereka yaitu Islam. Ketika Islam datang ke tatar Sunda dan mulai berinteraksi dengan masyarakatnya, spontan mendapat sambutan yang sangat luar biasa, terutama dari kalangan rakyat biasa. Tidak heran, bila Islamisasi yang dirintis oleh Sunan Gunung Djati, Maulana Hasanuddin, Syekh Abdul Muhyi dan oleh para ulama penerusnya sangat mudah dan berakar yang kemudian menjadikan masyarakat Sunda sebagai masarakat Islam.

Tradisi nomaden masyarakat Sunda lama yang berpindah-pindah, monoteisme kepercayaannya, egalitarianisme budaya, tradisi komunikasi yang demokratis dan pengaruh Islam yang luas setelahnya, adalah penyebab-penyebab kuat tidak ditemukannya banyak Candi di tatar Sunda sebagai simbol feodalisme, hegemoni kerajaan dan nilai-nilai Hindu. Egalitarianisme nilai-nilai masyarakat dan demokratisnya pola komunikasi antara penguasa dengan rakyat berpengaruh pada cara raja dan rakyatnya memandang kekuasaan dan cara memandang dirinya masing-masing. Raja tidak merasa perlu memisahkan dirinya dalam sebuah bangunan Candi yang kokoh dan eksklusif yang jauh dari rakyatnya. Sebagaimana keraton berfungsi sebagai simbol pemisahan yang jelas antara kompleks kekuasaan raja dengan rakyatnya, candi juga dibangun sebagai simbol penegasan yang jelas antara raja dan rakyatnya dan lebih merupakan sarana eksklusif para raja melakukan ritus sesembahan dan pemujaan. Di tatar Sunda yang egaliter dan kedekatannya dengan alam sebagai masyarakat agraris menyebabkan fokus sesembahan dan penghormatan lebih langsung kepada alam dan ke sanghyang ketimbang kepada para raja.

Hanya Satu Kerajaan
Di Nusantara, fungsi candi bukan hanya sebagai tempat beribadah para raja semata, tetapi juga sebagai monumen sebuah dinasti yang berkuasa. Pertarungan politik dan adu gengsi kekuasaan antar kerajaan telah menghasilkan candi-candi megah di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Wangsa Syailendra dengan Candi Borobudurnya dan Wangsa Sanjaya dengan Candi Prambanannya. Pergantian kekuasaan kerajaan, baik melalui suksesi formal maupun melalui perebutan kekuasaan selalu diiringi dengan pembangunan candi megah sebagai monumen kekuasaannya. Ketika kita menyaksikan banyaknya candi-candi besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka kita dapat menduga selain sebagai simbol majunya sebuah kerajaan, betapa banyaknya pula konflik dan persaingan politik yang terjadi di Jawa pada zaman itu.

Fungsi candi sebagai monumen kekuasaan raja seperti ini juga tidak ditemukan di tatar Sunda karena kerajaan yang berkuasa di tatar Sunda hanya satu yaitu Kerajaan Sunda. Hanya pusat pemerintahannya saja yang berpindah-pindah sejak dari Galuh (Ciamis), pindah ke Pakuan Padjadjaran (Bogor), pindah lagi ke Kawali (Ciamis) dan kemudian pindah ke Pakuan lagi (Sartono Kartodirdjo, 1977). Dengan kata lain, kekuasaan raja di Sunda tersentralisir dan kemungkinan keratonnya pun hanya satu. Tetapi –paling tidak hingga saat ini— keratonnya pun belum ditemukan berada di kota mana dari tempat yang berpindah-pindah itu. Candi yang sudah ditemukan pun, seperti candi Cangkuang di Garut, candi di Batujaya Karawang dan di Bojongmenje Rancaekek, Bandung, selain tafsirnya belum bisa dipastikan alias kontroversial, juga belum merepresentasikan sebagai bekas peninggalan kekuasaan kerajaan Sunda. Dengan demikian, kekuasaan tunggal yaitu kerajaan Sunda adalah alasan kuat yang mendukung alasan-alasan lain yang sudah dikemukakan tentang tidak banyaknya candi di Tatar Priangan.

Dari uraian di atas, kelangkaan candi di sebuah kawasan tidak selalu merefleksikan tingkat peradaban. Candi hanyalah salah satu bangunan monumental yang dibangun oleh sebuah dinasti kerajaan untuk kebutuhan prestise sesembahan keluarga raja, selain sebagai simbol kekuasaan. Kerajaan Sunda adalah kerajaan kuat yang terbukti ketika kerajaan Madjapahit dan Mataram berada dipuncak kekuasaannya, berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, kerajaan Sunda tidak menjadi taklukannya. Dengan demikian, pendirian candi dalam sebuah wilayah kekuasaan lebih berhubungan langsung dengan pola kekuasaan, konsep teologis dan tradisi politik yang berkembang. Tampaknya, sesuai dengan kecenderungan kuat konsep teologisnya yang monoteistik, tradisi pola komunikasi yang demokratis antara penguasa dan rakyatnya serta kekuasaan Sunda yang terpusat dan tunggal, kelangkaan candi di Tatar Sunda memang sebuah kemestian sejarah. Inilah kekhasan lokal masyarakat Sunda. Dengan demikian, masyarakat Sunda perlu membuang semacam “ratapan historis” yang tidak perlu karena langkanya candi di Jawa Barat. Sekali lagi, bangunan candi tidak mengindikasikan tinggi-rendahnya peradaban. Sistem sosial dan kebudayaan Sunda lebih berorientasi pada nilai-nilai, relijiusitas dan hal-hal lain yang bersifat abstrak yang itu justru menunjukkan ketinggian peradabannya. Karenanya, penerimaan Islam pun lebih mudah prosesnya.

Candi kebanggaan masyarakat Sunda sekarang adalah “candi Islam” yaitu puluhan ribu masjid yang hampir ada di setiap RT di seluruh Jawa Barat. Begitu mengagungkannya, banyak daerah masyarakat Sunda yang lingkungan rumah penduduknya sederhana tapi masjidnya megah dan mewah. Sayangnya, candi-candi itu adalah singkatan dari “candi eusian” karena masih kosong oleh shalat rutin berjama’ah. Mungkin, karena terlalu banyaknya sehingga pengisiannya terpencar-pencar. Wallahu a’lam!!

Sumber : http://moefarticles.wordpress.com/2011/01/08/argumen-langkanya-bangunan-candi-di-tatar-sunda/

Wednesday, November 14, 2012

Lingkungan dan Kelanggengan Sebuah Negara

KERAJAAN Majapahit, 1293-1500 (2,07 abad); Kerajaan Kediri, 1042-1222 (1,8 abad); Kerajaan Singosari, 1222-1292 (70 tahun); Kerajaan Sunda, 669-1579 (9,1 abad). Dari fakta sejarah ini pertanyaan yang muncul adalah kenapa Kerajaan Sunda dapat bertahan 9 abad lebih sedangkan kerajaan lainnya di Pulo Jawa, termasuk Kerajaan Majapahit yang termashur, tidak lebih dari 2,5 abad?

Hingga saat ini parasejarawan di Jawa Barat belum ada yang bisa memberi penjelasan atau argumen mengenai kejayaan Kerajaan Sunda. Kalaupun ada yang mencoba membahasnya pada umumnya hanya bertumpu pada ilustrasi sipat orang Sunda yang tidak rakus kekuasaan, sehingga di Kerajaan Sunda tidak pernah terjadi perang memperebutkan kerajaan.

Sudah barang tentu argumen tersebut tidak cukup untuk menjelaskan mengenai apa yang menyebakan Kerajaan Sunda yang dapat bertahan selama 9 abad lebih itu. Bahkan memunculkan pertanyaan baru: Kenapa orang Sunda tidak tergiur oleh kekuasaan? Kenapa orang Sunda tidak memperdulikan tahta atau kedudukan, setidaknya sampai jatuhnya Kerajaan Sunda?

Untuk menjawab pertanyaan kenapa Kerajaan Sunda dapat bertahan selama 9,1 abad, dugaan (hipotesa) lain yang patut dikedepankan adalah: karena paktor alam. Di wilayah Kerajaan Sunda yang meliputi Jakarta, Banyumas, dan sebagian daerah Brebes, terdapat banyak gunung berapi sehingga tanahnya subur, daerahnya berbukit-bukit yang memberikan air berlimpah ruah pada penduduk.

Dengan kata lain, alam di wilayah Kerajaan Sunda memudahkan orang Sunda untuk menjalani kehidupan dengan baik dan teratur, termasuk dalam hal mementukan tara ruang. Alam telah memberikan segala-galanya pada orang Sunda termasuk keindahan pemandangannya. Ada pernyataan yang termashur: Tuhan menciptakan Priangan sambil tersenyum.

Jaman Kerajaan Sunda, raja-raja Sunda sangat memperhatikan sekali lingkungan, demikian juga kerajaan-kerajan bagian (Kerajaan Sunda menganut sistem seperti negera federal sekarang, tidak memusatkan kekuasaan pada satu tempat atau satu tangan, tidak seperti di kerajaan di Jawa). Bahkan di salahsatu kerajaan bagian, rajanya memberlukan hukuman mati bagi yang merusak alam.

Naskah kuna Carita Parahyangan (CP) tatkala menggambarkan keberhasilan Prabu Wastukancana dalam memimpin Kerajaan Sunda menulis begini (terjemahaan): Air, cahaya, angin, langit, dan bumi pun merasa senang berada dalam genggaman pelindung dunia. Ini mengandung arti para panguasa Sunda memperlakukan alam dengan baik. Mereka sangat mengerti pada keadaan alam di wilayahnya.

Karena itu, jaman Kerajaan Sunda, di Tatar Sunda menurut beberapa peminat sejarah, tidak pernah terjadi bencana alam, banjir, longsor dan sebagainya. Perobahan iklim dunia tidak terasa di Tatar Sunda, karena Tatar Sunda mempunyai iklim mikro yang mampu membendung pengaruh iklim global. Meskipun dalam hal gunung meletus, data geologi menunjukkan di wilayah Tatar Sunda pernah terjadi.

Keadaan alam Tatar Sunda berbeda dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Naskah kuna Pararaton, sumber sejarah penting di Jawa Timur, beberapa kali menyebutkan terjadinya gunung meletus saat di Majapahit berkecamuk perang Paregreg sepeninggal Hayam Wuruk. Bahkan menurut Pararaton, Majapahit pernah dilanda krisis pangan yang sangat parah.

Parageolog menduga di wilayah Majapahit pernah terjadi musibat seperti lumpur Lapindo sekarang. Konon Sungai Berantas juga alirannya berpindah, padahal sungai tersebut urat nadi perekonomian jaman itu. Karena itu bisa disebutkan kejatuhan Majapahit bukan hanya semata-semata terjadi perang saudara memperebutkan tahta dan kekuasaan, tetapi juga karena paktor, termasuk bencana alam.

Akan tetapi, karena manusia sekarang ini tidak mampu membaca dan memaknai sejarah, di Tatar Sunda alam dan lingkungan tidak dijaga dengan baik, malah sebaliknya dirusak habis-habisan. Jawa Barat pun menjadi daerah yang paling rawan bencana: longsor, musim kemarau terjadi kekeringan sehingga lahan pertanian kekurangan air, dan pada musim hujan banjir selalu menjadi persoalan.

Sisa-sisa kearifan parapendahulu Sunda tentang alam dan lingkungan, masih dapat dijumpai di masyarakat adat: di Kanekes (Baduy), Kampung Naga, Kampung Dukuh, Kampung Kuta, Kampung Ciptagelar, dan Kampung Cikondang. Mereka menjalankannya dengan konsisten sehingga hutan lindung (leuweung tutupan) yang mereka miliki terjaga kelestariannya.

Berkaitan dengan keadaan alam dan lingkungan secara nasional, kita dapat menaruh tanda tanya besar di belakang kata Indonesia. Negara kita sudah berumur 65 tahun (1945-2010). Jika kerusakan alam dan lingkungan semakin menjadi-jadi dan tidak ada upaya yang sistemik untuk mencegahnya, kira-kira mampukah negara kita dapat bertahan lebih dari dua abad?

sumber : http://yasirmaster.blogspot.com/2011/12/lingkungan-dan-kelanggengan-sebuah.html

Thursday, October 25, 2012

Doa Untuk Orang Tua Dan Saudaraku

Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo

“Ya Tuhanku! Ampunilah aku,
ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”



Robbanaghfir lii wa lii waalidayya wa lilmu’miniina yawma yaquumul hisaab

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” [Ibrahim:41]


Ya Allah,
Kami memohon mudahkanlah aku & saudara saudara ku dalam menghadapi masalah2 hidupnya,
Maafkan kami atas kesalahan & dosa dosa kami masa lalu ya Allah,
Perbaiki dan Sempurnakanlah amal ibadahnya,
Lapangkan rizkinya,
Bahagiakanlah hidupnya,
Jadikanlah pasangan hidupnya yang setia & penyayang,
Berikanlah kepadanya anak2 yang sholeh,
Berikanlah Petunjuk & Hidayah-Mu untuk kami menjadi keluarga yang sholeh,
Kabulkanlah doa kami ya Rab,
Wahai Allah Yang Maha Pengabul Doa,
Amien Yaa Rab Allamiiin.

Sumber : http://www.belida.com/node/81

7 kalimat suci seorang muslim

Terdapat 7 (tujuh) Kalimat Suci, yaitu:

1.Bismillahirrahmanirrahiim:
Setiap hendak melakukan sesuatu.

2.Alhamdulillah:
Setiap habis melakukan sesuatu.

3.Astaghfirullah:
jika melakukan sesuatu yg buruk.

4.Insya Allah:
jika ingin melakukan sesuatu pada masa yang akan datang.

5.Laa hawla walaaquwwata illaah billaah:
bila tidak bisa melakukan sesuatu yang agak berat/melihat hal yang buruk.

6.Innalillahi wainna ilaihi rojiun;
jika melihat/menghadapi musibah.

7.Lailaha illallah:
bacalah siang & malam sebanyak2nya.

Ada 2 (dua) pilihan untuk anda:
1. Biarkan didalam inbox anda tanpa bermanfaat untuk org lain.
2. Anda sebarkan pada semua kenalan anda.

Rasulullah bersabda:
"Barang siapa yang menyampaikan 1 (satu) ilmu saja dan ada orang yg mengamalkan, maka walaupun yang menyampaikan sudah tiada (meninggal dunia), dia akan tetap memperoleh pahala"

Sumber : http://www.belida.com/node/67